Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Merekonstruksi

12 Januari 2012   00:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya jarang menemui kesulitan saat memulai menulis, demikian pula menghadirkan ide tulisan. Maaf, bukan saya nyombong, ya! Menembus dinding tembok sulitnya memulai menulis adalah tantangan terbesar penulis, penulis debutan maupun kawakan. Meski segudang ide atau ratusan ilham hinggap di kepala, ia akan jadi fosil yang tak berguna jika tidak bisa memulai. Berkali-kali saya telah memberi tips tentang bagaimana memecah batu es sulitnya memulai menulis ini.

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman bagaimana saya melahirkan ide dan mengalirkan percakapan lewat upaya merekonstruksi apa yang saya lihat. Hanya yang saya lihat dan amati. Caranya sederhana, saat saya memandang seseorang (bahkan sesuatu), saya mencoba merekonstruksi apa yang sedang dipikirkannya. Ini yang penting: apa yang sedang dipikirkannya!

Kelihatannya absurd, tetapi dengan cara demikian, terbuka peluang berbagai kemungkinan. Kalau saya melihat seorang Ibu di ruang tunggu bandara dengan merek-merek ternama melekat di tubuhnya, seorang gadis belia yang sedang melamun di dalam busway, atau saat mata terantuk memandang wajah hampa penjaja koran di simpang jalan, terbuka peluang bagi saya melahirkan ide.

Ambil contoh seorang remaja puteri di mal yang keluar masuk gerai-gerai mahal seperti Dolce Gabana, Zara, Bonia dan lain-lain, dimana di tangannya terkumpul kantong-kantong belanjaan, saya mulai berpikir sederhana: siapa remaja ini? Anak siapa dia? Kalau belanjaannya saja berkelas, pastilah mobilnya pun tidak sembarangan (bagaimana kalau ternyata dia naik ojek atau bajaj?). Siapa pula orangtuanya? (Lha, kalau dia ternyata anak koruptor?). Dan yang penting; apa yang dipikirkannya. Jangan-jangan dia berpikir tentang pesta malam minggu nanti. Seperti apa ya pestanya? Siapa tahu barang-barang yang dibelinya itu untuk hadiah buat pacarnya! Wah, alangkah beruntungnya si pacar.

Bagaimana kalau saya merekonstruksi bahwa pacarnya itu seorang tukang ojek yang biasa mengantarnya ke sekolah kalau kepepet macet? Wah, menarik karena sudah bicara soal kelas. Bagaimana kalau hadiah itu untuk mantan pacarnya, yang kini sudah pergi mencampakkannya? Bagaimana kalau pacarnya guru les perempuannya? Aduh, semakin liar saja. Atau, ia belanja karena sekadar menghabiskan sisa jatahnya bulan ini. Wow, alangkah kayanya dia atau orangtuanya!

Bagaimana kalau saya merekonstruksi sebenarnya remaja itu hanya sebuah bayangan, sesosok arwah gentayangan, arwah gadis belia yang pada masa hidupnya suka belanja, tetapi dia terbunuh secara mengenaskan. Wah, wah, semakin tak terbendung ide ini. Dengan merekonstruksi gadis belia di mal saja saya sudah bisa memulai cerita remaja (teenlit), cerita misteri, drama kehidupan urban, gaya hidup hypermodern, atau bahkan cerita tragis.

Saya yakin, Anda akan menemui banyak orang dengan latar belakang dan gaya berbeda saat berpapasan di jalan atau saat Anda mengunjungi mal tadi, saat berada di ruang tunggu dokter, di salon, di panti asuhan, saat berpapasan dengan para pengendara motor gede HD, saat memandang wajah seorang anggota DPR di layar kaca, saat memandang mimik peminta-minta, dan seterusnya, yang semuanya tersedia dalam kehidupan sehari-hari.

Persoalannya, mampukah Anda, juga saya, menangkap satu sosok saja untuk saya rekonstruksi di alam pikiran saya, yang kelak melahirkan berbagai cabang ide sebagai modal awal untuk memulai sebuah tulisan? Rasanya tidak akan bisa kalau tidak dimulai. Anda baru setengah bisa jika sudah memulainya.

Untuk itu, mulailah belajar merekonstruksi dari sekarang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun