Panggilannya Bang Ali. Saya tidak pernah tahu nama aslinya. Sudah cukup berumur. Badannya kurus-kering cenderung "crispy" dan pakaiannya seperti tidak pernah dicuci, terutama jaketnya. Namun demikian, hati Bang Ali bersih, tulus setulus-tulusnya, terutama bagi puluhan kucing liar yang berkeliaran di ujung jalan Palmerah Selatan. Kok bisa? Sebab, setiap pagi, tanpa pernah terputus, Bang Ali selalu menyediakan dan memberi makan gratis bagi kucing-kucing liar itu. Tanpa pamrih tentunya.
Bagi kucing-kucing liar itu, Bang Ali adalah "hero", meminjam istilah teman saya di Surabaya, "day to day hero" sejati yang sesungguhnya. Ya "hero" bagi kucing-kucing liar itu!
Bagi Bang Ali, ia tak peduli kucing milik siapa dan kucing jenis apa yang diberinya makan, dipanggilnya dengan telaten, lalu menebar makanan berupa tulang ikan kering yang dibuang dari Pasar Palmerah. Bagi kucing, mereka tak peduli siapa Bang Ali. Kalau saja kucing-kucing liar itu mampu berpikir dan menganalisa, mereka mungkin hanya bertanya: mengapa dari sekian orang yang wara-wiri di Kawasan Palmerah hanya Bang Ali saja yang bersedia memberi mereka makan?
Bang Ali kerap duduk minum kopi di Warung Kopi kaki lima "Alex" yang ada di sudut jalan. Bukan warung kopi mahal, itu hanya berupa gerobak bernaungkan tenda saja. Saya kerap duduk bareng Bang Ali, mentraktirnya kopi dan mie instan hangat pakai telor kesukaannya. Saya kerap mengernyitkan dahi tatkala sering mendengar Bang Ali berbicara sendiri di samping saya. Bukan kepada saya, tetapi kepada "orang lain" entah siapa. Tetapi, bagi saya itu tidak penting. Bang Ali adalah manusia waras-sewaras-warasnya, sebab ia bisa merespons pertanyaan saya, grundelan saya. Soal ia biasa bicara kepada "orang lain" yang tidak bisa saya lihat, itu soal lain.
Bagi saya... Bang Ali berhati mulia, itu penilaian subyektif saya. Saya tidak pernah mau peduli masa lalunya atau latar belakangnya. Tetapi yang saya tahu sejak beberapa bulan lalu sampai kini, Bang Ali rutin memberi kucing-kucing liar itu makanan. Bang Ali adalah sahabat kawanan kucing liar Palmerah. Tidak butuh pujian, tidak butuh pencitraan. Bagi dia, kucing juga perlu makan. Bayangkan kalau tidak ada orang seperti Bang Ali bagi kucing-kucing liar itu?
Dalam filsafat Zen, Bang Ali ini paham benar dari mana dia berasal dan dari unsur apa dia diciptakan. Boleh jadi Bang Ali tidak paham filsafat apapun, termasuk konsep Zen tentang "jatidiri", di mana semua yang tercipta berasal dari unsur yang sama (konon fisika dan kimia modern telah membuktikannya). Ketika semua yang ada berasal dari unsur yang sama, sesungguhnya yang ada hanyalah SATU. Karena hanya satu dan berasal dari unsur yang sama, Bang Ali tidak membedakan kucing yang "hanya" sekadar khewan atau Si Encang yang manusia, misalnya. Bagi Bang Ali, sama saja, seperti halnya dirinya.
Barangkali, itulah yang melatarbelakangi mengapa Bang Ali begitu menyatu dengan kawanan kucing liar dan kucing liar merasa punya "Bapak" yang melindungi mereka, kendati "bapak-bapak" atau "ibu-ibu" (manusia lain selain Bang Ali) banyak berkeliaran dan berkelindan di bilangan Palmerah. Dari Ratusan dan bahkan ribuan manusia itu, hanya Bang Ali-lah yang merupakan "Bapak" dan pelindung bagi mereka, kucing-kucing liar itu.
Kalau diletakkan pada konteks filsafat Zen, hanya Bang Ali sendirilah yang memahami konsep di mana apa-apa yang ada di alam semesta ini berasal dari unsur yang sama, yaitu unsur yang SATU itu. Kucing, Bang Ali, daun kemangi, bunga sedap malam, atau tanah dan rumah, adalah unsur yang SATU itu, yang tidak perlu dibeda-bedakan. Manusia yang kurang kerjaan sajalah yang membuat kelas-kelas sosial, stratifikasi kehidupan, atau sekat-sekat kemanusiaan.
Bang Ali adalah "beyond", seseorang yang bukan siapa-siapa namun sudah berhasil melampaui pergulatan yang diciptakan manusia-manusia "waras" yang hebat-hebat itu. Ya, kita-kita inilah, termasuk saya.
**
Palmerah Barat, 11 Juni 2015