Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Meraih Kembali FEEL Menulis?

11 Oktober 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:41 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381456969646879220

[caption id="attachment_293860" align="alignright" width="619" caption="Foto Ilustrasi/Kompas.com"][/caption] Percakapan saya dengan wartawan senior Harian Kompas, Maria Hartiningsih, saya rekonstruksi kembali untuk keperluas tulisan ini. Mbak Maria, demikian saya biasa memanggilnya, adalah salah satu wartawan senior yang saya hormati karena integritasnya yang tidak saya ragukan lagi, apalagi saya perdebatkan. Dalam beberapa kesempatan, saya mendapat kehormatan untuk meliput bersama, termasuk meliput Aceh pascatsunami yang mengesankan. Suatu hari Mbak Maria menelepon saya dan menanyakan kabar mengenai saya (seharusnya yang lebih junior menelepon yang lebih senior) saat saya asyik menulis -- persisnya mencoba menulis fiksi, di suatu senja yang jingga. Saya jawab baik-baik saja dan Mbak Maria mengabarkan dirinya agak kurang "fit" tetapi tetap semangat untuk pergi ke kantor. "Aku sudah lama sekali nggak ketemu kamu. Gimana kamu dengan pekerjaanmu? Aku dengar sekarang kamu banyak menulis buku?" demikian Mbak Maria. Tentu saja saya senang Mbak Maria masih menaruh perhatian sebagai seorang kakak terhadap adiknya, satu sikap yang jarang saya temui pada jurnalis dengan level sesenior Mbak Maria di kantor tempat saya bekerja. Saya katakan, passion saya menulis dan saya tidak bisa meninggalkan kegiatan menulis. Beberapa buku yang saya hasilkan, saya bilang, itu karena naluri yang membimbing saya menuntaskan passion itu. Bahwa sekarang menulis dalam bentuk buku, itu karena penugasan saya di media sosial Kompas.com yang tidak memungkinkan saya bisa mengakses GN4, suatu sistem kerja Newsroom di Harian Kompas, yang diberlakukan baru-baru ini. "Ya sudah, yang penting kamu menulis saja terus!" pesan Mbak Maria diujung telepon. "Lalu sekarang kamu sedang nulis apa?" tanya Mbak Maria kemudian yang langsung saya jawab tanpa keraguan, "Novel, Mbak." "Ah ya... aku ingat sekarang, kamu 'kan dulu penulis cerpen dan cerbung remaja di Majalah Hai dan Femina, itu juga novel, bukan? Mestinya kamu bisa sukses menulis novel." "Tapi susahnya bukan main, Mbak, sudah satu tahun nggak rampung-rampung setelah saya bunuh kemampuan menulis fiksi saya di tahun 1994, saat saya mulai memasuki pendidikan wartawan Kompas. Alhasil, malah buku nonfiksi yang saya hasilkan," curhat saya tanpa bermaksud menyesali apa yang telah saya hasilkan. "Itu cuma persoalan FEEL menulis saja. Coba kamu sedikit konsentrasi untuk mengembalikan FEEL itu, dalam sekejap kamu sudah berada di rel fiksi lagi," kata Mbak Maria. Demikian percakapan ringan saya dengan Mbak Maria. Saya tercenung memikirkan makna singkat tapi menghujam uluhati kepenulisan saya, FEEL. Ya, FEEL itu berarti 'rasa' kalau dibahasaindonesiakan. Akan tetapi maknanya tidak sesederhana itu. FEEL adalah satu keadaan, perpaduan antara perasaan dan pikiran, yang mendorong penulis menghasilkan satu genre tulisan yang spesifik. FEEL saya menulis fiksi secara sadar sudah saya bunuh tatkala saya harus menulis berita faktual. Adalah guru jurnalistik saya, Luwi Iswara, yang "membasuh" otak fiksi saya dengan "racun" faktual. Tentu saja satu sikap yang tidak pernah saya sesali dan Pak Luwi benar adanya. Sebab pada tahun 1994 itu, saya akan memasuki dunia kepenulisan yang sepenuhnya faktual, sebab saya harus menulis berita fakta, bukan fiksi atau rekaan. Berkat menjadi wartawan pula, saya berkesempatan bisa berkeliling dunia, melihat peradaban dan kebudayaan berbeda di tiap-tiap tempat baru yang saya datangi. Sewaktu masih menulis fiksi, yakni sebelum tahun 1994, jika saya harus menggambarkan (describe) satu tempat, maka saya wajib melihat peta, membaca geografi, dan seterusnya. Setelah menjadi wartawan, saya mencatat detail tempat-tempat yang saya kunjungi dan saya simpan sebagai catatan pribadi. Mestinya, saya dipermudah lagi jika harus menggambarkan suatu tempat yang pernah saya kunjungi berikut prilaku dan kebiasaan masyarakat setempat, toh saya sudah mengantungi fakta-faktanya. Akan tetapi, jujur... saya belum mendapatkan FEEL menulis fiksi lagi. Saya membaca berpuluh-puluh novel untuk mengembalikan kemampuan menulis fiksi saya, di saat saya tidak harus dituntut menulis berita faktual lagi. Wajar kalau saya ingin mengembalikan kemahiran yang pernah saya punya beberapa tahun lalu. Membaca novel dan menonton film hanyalah salah satu untuk meraih FEEL itu kembali. Saya mulai rajin membuat statuf fiktif di Facebook meski kadang teman-teman menyangka "saya sedang kasmaran" karena menulis rangkaian kata-kata indah dan figuratif. Kemudian saya coba membuat "novel twitter" berjudul "Alena" yang saya twit sesuka saya, setiap saat saya ingat. Saya mulai mencoba membuat cerita sketsa di Kompasiana dan laman "Nulis bareng Pepih" ini (salah satunya vermin Tiga Permintaan), dan terakhir tekad saya membuat satu file di komputer genggam saya dengan tajuk NOVEL. Itu sudah dimulai satu tahun lalu, dan sekarang hampir penutup tahun, novel itu belum selesai barang setengah jalan pun. Padahal resolusi diri saya, saya harus menyelesaikan novel itu akhir tahun ini! Rasa-rasanya, saya harus berdamai lagi dengan diri sendiri dan me-reset lagi rencana-rencana yang pernah saya tabalkan. Saya "iri" (positif) terhadap teman-teman yang bisa leluasa menulis fiksi di subkanal "Fiksiana" di Kompasiana. Namun demikian, saya tetap berusaha mengembalikan FEEL yang Mbak Maria katakan tadi dengan berbagai cara dan upaya. Saya tetap menjalankan cara-cara dan upaya itu lewat membaca novel sebanyak-banyaknya, membaca cerpen dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, membaca script film atau drama, menonton film, dan yang penting BERLATIH serta BERLATIH menulis fiksi setiap hari demi mengembalikan FEEL itu, tidak peduli satu kalimat fiktif-figuratif dalam bentuk status di Facebook. Jujur, saya tidak takut dituding "sedang kasmaran" oleh teman-teman, sebab pada dasarnya saya sedang berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan kemampuan menulis fiksi dengan cara mendapatkan kembali FEEL itu. Oh, come on FEEL, don't go anyway! Be with me all the way! *** PEPIH NUGRAHA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun