Sebagai jurnalis, kadang saya menerima keluhan dari sumber atas ucapan yang saya kutip. Misalnya dia mempertanyakan, "Lho, rasanya saya nggak ngomong gitu deh, kenapa kutipannya jadi seperti tertulis di berita?" Tetapi tidak jarang pula saya menerima tanggapan sebaliknya, "Wah, saya senang dengan kutipan yang Anda bikin, maklum omongan saya 'kan kadang nggak karu-karuan, nggak terstruktur, dan banyak terselip bahasa daerahnya!" Menjadi perhatian saya setiap kali saya menulis berita; apakah menggunakan kalimat langsung berupa kutipan langsung atau kalimat tak langsung berupa penjesalan apa yang diucapkan sumber. Menjadi pertanyaan pula, apakah jurnalis boleh mengubah (katakanlah mengedit) kalimat langsung? Bukankah kalimat langsung harus dikutip sebagaimana sumber mengucapkannya, tanpa ada perubahan? Dalam suatu kesempatan, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Rikard Bagun, memberi solusi atas pilihan apakah jurnalis boleh atau malah dilarang keras mengubah kalimat langsung atau kutipan langsung. Cukup mengejutkan jika jawaban Rikard ternyata, "Boleh! Mengapa tidak?" Menurut Rikard, sering ucapan pernyataan sumber disampaikan dalam bahasa slang, tidak resmi, dan bahkan bahasa daerah. Dia mencontohkan kutipan langsung dari kantor berita asing (wire) yang diterjemahkan ke dalam bahasa tertentu, misalnya bahasa Indonesia. Bagi Rikard, adalah wajar kutipan langsung itupun dikutip tidak seperti aslinya sebagaimana sumber mengucapkan. Katakanlah sumber, misalnya Presiden AS Barack Obama, mengucapkan langsung pernyataannya dalam Bahasa Inggris, tentulah koran-koran berbahasa Indonesia akan menerjemahkan atau mengalihbahasakan ucapan Obama itu ke dalam Bahasa Indonesia, tidak seperti aslinya Obama mengucapkannya. "Itu 'kan juga mengutip langsung, tetapi kita mengubahnya," demikian Rikard beralasan. Bahkan menurut dia, sumber yang tidak mampu menggunakan Bahasa Indonesia yang benar karena terpengaruh bahasa daerah atau penuturan sehari-hari, harus berterima kasih ketika kutipan langsung pada berita di koran atau majalah menjadi demikian baik dan terstruktur, sebab sudah mendapat polesan dari jurnalis. Tentu, tidak ada alasan sumber marah-marah atau malah menyampaikan somasi hanya karena ucapannya yang "menjadi bagus" dan terstruktur. Hal yang lebih penting, adalah khalayak pembaca. Sangat tidak mungkin kutipan langsung sumber dalam bahasa daerah dikutip apa adanya dalam bahasa daerah tersebut untuk pembaca Harian Kompas yang menggunakan Bahasa Indonesia yang benar. Saya menjadi paham atas pendapat Rikard ini, mengingat argumennya masuk akal. Pada mulanya, saya termasuk orang yang memegang "kebiasaan jurnalistik" yang tetap menulis kutipan langsung sebagaimana apa adanya, sebagaima sumber mengucapkannya. Saya bahkan menggunakan kutipan dalam bahasa daerah, jika itu ada, untuk hal-hal yang sifatnya menekankan. Saya bahkan menganggap, mengubah kutipan langsung sesuai dengan khalayak pembaca akan menghilangkan nuansa berita itu sendiri. Akan tetapi saya sadar, untuk batas-batas tertentu, misalnya menulis feature, kutipan langsung sebagaimana apa adanya bermanfaat untuk menangkap suasana. Akan tetapi dalam menulis berita langsung (straight), rasanya saya harus mengakui kebenaran argumen Rikard itu, bahwa jurnalis bisa mengubah kutipan langsung sesuai khalayak pembaca. Jadi, jangan takut lagi mengubah kutipan langsung! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H