[caption id="attachment_171946" align="aligncenter" width="500" caption="admin/ilustrasi(shutterstock)"][/caption] Rekan saya di Kompasiana, Ahmed T-sar Blezinsky, meminta tanggapan atas tulisannya berjudul "Alih Bahasa: Kendala Dalam Menulis Reportase" (Kompasiana, 15 Februari 2012). Sebagai seorang citizen journalism yang tidak banyak merengguk pelatihan menulis berita, kecuali otodidak sebagaimana yang diakuinya, ia bertanya bagaimana seorang jurnalis mengalihbahasakan hasil wawancara dari sumber menjadi bahasa jurnalistik, sebagaimana terbaca untuk publik. Pertanyaan yang bagus, yang rupanya tidak mampu ia jawab sendiri. Baiklah, saya berupaya menjawabnya, berdasarkan pengalaman saya selama ini. Akan tetapi sebelumnya, marilah kita simak kutipan Ahmed dalam tulisannya itu: "Semua orang yang mengerti jurnalistik pasti tahu bahwa untuk menulis berita dibutuhkan data primer dari narasumber langsung. Untuk menangkap data primer itu dibutuhkanlah alat rekam (kalau dulu berupa kaset, sekarang Handphone). Setelah selesai merekam suara narasumber untuk dijadikan sumber primer, maka langkah selanjutnya adalah menuliskannya dalam berita. Dan ternyata, di dalam langkah menulis berita itu terdapat proses pengalihbahasaan. Yakni, mengalihbahasakan ragam bahasa obrolan menjadi ragam bahasa tulisan. Lebih jauh walaupun kini teknologi rekam semakin canggih, ada beberapa kendala dalam proses pengalihbahasaan tersebut. Yang saya rasakan, kendala-kendala itu berupa: (1). Apakah benar terjadi proses pengalihbahasaan tersebut? Maksudnya, 'jangan-jangan untuk wartawan atau jurnalis profesional tidak mengenal proses itu, mereka langsung menuliskan apa adanya ragam bahasa obrolan'; dan (2). Kalau memang terjadi proses itu, bagaimana cara melakukannya secara benar menurut pengalaman wartawan profesional? Apakah ragam bahasa tidak baku dalam obrolan turut dimasukkan juga dalam tulisan atau tidak? Apakah sebagai wartawan profesional, berhak mengalihbahasakan dalam arti merubah struktur kalimat narasumber tanpa merubah makna (contoh sederhananya, ‘ibu pergi ke pasar’ menjadi ‘ibu berjalan ke pasar atau ‘ibu menuju ke tempat orang-orang berjualan’)?" Empat paragraf tulisan Ahmed di atas sengaja saya tulis utuh agar tidak kehilangan esensi atas apa yang ditanyakannya. Saya menjawabnya sederhana, berdasarkan pengalaman saya di lapangan dan berada di balik komputer untuk menuliskan laporannya. Untuk menulis laporan sehingga menjelma menjadi bahasa jurnalistik, saya dibekali senjata menulis berita yang disebut: Kalimat langsung dan kalimat tak langsung. Agar menjelma menjadi bahasa jurnalistik, saya terbiasa "mengalihbahasakan" ucapan langsung dari sumber (baik yang saya rekam, catat maupun saya ingat-ingat) menjadi KALIMAT TAK LANGSUNG dalam menulis berita. Saya akan "menerjemahkan" ucapan orang lain (sumber) ke dalam gaya bahasa penulisan berita saya. Yang menjadi catatan di sini adalah, saya hanya mengutip ucapan sumber seutuhnya atau sebagaimana aslinya dia berucap dalam KUTIPAN yang penting-penting saja untuk maksud penekanan. Bagaimana contoh kalimat langsung yang diucapkan sumber sebagaimana dia mengucapkan menjadi bahasa dan kalimat jurnalistik yang layak dibaca publik? Rasanya tulisan ini sudah terlalu panjang, baiknya saya sajikan contoh-contohnya dalam postingan berikutnya. Ditunggu saja.... Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H