Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Aksi Memikat "Trisum" Dadakan Balawan-Jubing-Andy [Konser Balawan-Jubing 4]

6 Juli 2012   10:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:14 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13415701621707378290

Setelah sejumlah komposisi dimainkan Jubing Kristianto tanpa cela, Andy Owen bergabung dan mengajak gitaris klasik itu bermain bersama, beradu sangar gitar rock versus gitar klasik. Lagu anak-anak “Potong Bebek Angsa” pun diraungkan gitar elektrik Andy, lalu dibalas dengan nada klasik Jubing. Sebuah gabungan suara gitar bersaudara yang agak aneh dan seperti tidak imbang, tetapi tetap menjaga harmoninya. Akustik ruangan Titan juga lumayan bagus, sehingga tidak ada pantulan atau gaung yang mengganggu serunya konser. Gitar rock Andy kontra gitar klasik Jubing diganjar tepuk tangan penonton setelah "Potong Bebek Angsa" berlalu. Boleh jadi selain karena permainannya yang cepat, lagu anak-anak yang sederhana itu memang sudah dikenal luas. Nada-nadanya menyatu, meski berasal dari jenis gitar yang berbeda. “Kalau mau bersatu, kita memang harus harmonis,” ujar Jubing di akhir main gitar bareng itu. Andy Owen masih memberi kesempatan kepada satu penanya lagi, yang kemudian dimanfaatkan seorang penonton. Dia bertanya bagaimana komposisi Jubing dalam satu lagu yang berbeda-beda, beralih dari mayor ke minor atau sebaliknya, dari cepat ke sangat lambat, dan seterusnya. Jubing kemudian menjawab dengan mengambil contoh “Hujan Fantasy”.  Jubing bilang, “Kasus ini sangat istimewa buat saya, sebab ini sebenarnya lagu yang sangat pendek. Di awal lagu hanya ada dua not saja.” Namun demikian, Jubing sebagaimana yang diakuinya, mulai ber-fantasy dengan hujan. Pastilah setiap orang menerjemahkan hujan berbeda-beda. Ada yang bergembira karena hujan telah tiba. Ada yang sedih karena mungkin tidak bias ke luar pergi. Ada yang merasa kebasahan, ada yang merasa hujan adalah keindahan. “Itu secara emosi,” kata Jubing tentang pemaknaan komposisi “Hujan Fantasy” yang digubahnya. “Secara teknik, kenapa tidak terlihat putus meski ada peralihan nada dan gaya, itu karena saya selalu membuat gradasi. Intro saya buat seperti baru, padahal aslinya ya begitu saja. Dari dua not dasar, saya lari ke beberapa not, dan selalu ada sambungan perantara untuk setiap perpindahan nada,” tuturnya membuka rahasia permainannya. Pada akhir konser yang berlangsung selama hampir dua jam tanpa henti, tiga gitaris berbeda aliran itu sekaligus naik ke atas pentas. Andy Owen yang menjadi MC konser pada malam itu menenteng gitar elektriknya yang biasa meraung-raung, Balawan tetap dengan gitar dua lehernya yang unik, dan Jubing lengket dengan gitar akustik “Yamaha”-nya. Mereka membentuk “trisum” dadakan. Kemudian What Left in Bali ciptaan Balawan terdengar dari tiga jenis gitar berbeda. Penonton dibuat termangu-mangu. “Ini komposisi mengenai orang Bali yang senang menjual tanah mereka,” kata Balawan usai performa. “Karena kebiasaan orang Bali ini, sekarang banyak orang asing memiliki tanah di Bali.” Trisum Owen-Balawan-Jubing masih berlanjut. Kali ini Rondo Alla Turca yang sangat terkenal dari Wolfgang Amadeus Mozart yang mensyaratkan kecepatan tinggi itu mereka mainkan secara serempak, tanpa terkesan salah satunya terseret-seret. Demikian kompak. Menurut catatan saya, komposisi mars-nya orang-orang Turki pada masa abad silamini masing-masing pernah dimainkan oleh Balawan bersama violis Sigit Arditya, juga Balawan bersama Batuan Ethnic Fusion-nya.  Demikian juga dengan Jubing, ia pernah memainkan komposisi yang pernah dimainkan oleh William Kanengiser juga bersama violis yang sama, Sigit, pada suatu kesempatan. Di pengujung acara, "trisum" ini masih memainkan lagu Kopi Dangdut yang aslinya bernama Moliendo Café dari Venezuela, dengan penuh keriangan. Tetap dengan tiga jenis suara gitar dari raungan rock yang sangar, berpadu dengan suara lembut dari aliran klasik. Balawan bahkan mengeluarkan efek gendang pada gitar dua lehernya sehingga menimbulkan nada-nada dangdut, persis seperti suara tabla atau gendang india. Konser berakhir, akan tetapi penonton seperti belum mau beranjak pergi. Saat berjalan ke luar, saya berkesempatan ngobrol bersama Jubing. Saya bertanya apakah Rondo Alla Turca dan Kopi Dangdut itu dimainkan bertiga secara mendadak atau spontan saat itu? Jubing kemudian mengaku bahwa Rondo Alla Turca dan Kopi Dangdut baru mereka mainkan bertiga secara spontan. Saya masih mengejar Balawan, hanya saja maestro gitar ini sudah buru-buru karena harus manggung di tempat lain. Selesailah pertunjukan yang aslinya menampilkan duo Balawan dan Jubing, tetapi pada perjalanannya gitaris rock Andy Owen bergabung menjadi "trisum" dadakan yang tercipta hanya beberapa jam saja. (Tamat) Tulisan sebelumnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun