Dengan saya usia Pak Tjiptadinata Effendi terpaut 21 tahun. Pak Tjip kelahiran tahun 1943 dan saya kelahiran 1964. Jika Pak Tjip menikah pada usia 20-an tahun, maka saya yang kini menjelang berusia 60 tahun layak sebagai anaknya.
Jadi tidak salah kalau saya selama ini menganggap Pak Tjip dengan Ibu Roselina sebagai orang tua saya.
Benar bahwa Pak Tjip dan Bu Rose bukan orang tua secara biologis, tetapi bagi saya mereka berdua adalah orangtua secara sosiologis sekaligus humanis, yang menjadikan pasangan ini menjadi sebenar-benarnya orang tua.
Pada diri mereka berdua terdapat berlaksa-laksa kebaikan yang tidak pernah terungkapkan. Pasangan ini hanya mencontohkan dengan kebaikan yang nyata
 Salah satu bentuknya adalah perhatian yang benar-benar nyata dan tulus kepada sahabat-sahabat dekatnya khususnya sahabat- sahabat literasinya di Kompasiana.
Pak Tjip bukan pendiri Kompasiana, tetapi ia lebih terkenal dari pendiri Kompasiana sendiri, yaitu saya sendiri. Mengapa ini bisa terjadi, karena keajegannya dalam hal menulis di Kompasiana.
Silakan cek berapa karya tulis yang dihasilkan dari pemikiran dan pengalamannya di Kompasiana! Mungkin Anda akan tercengang dan seperti tidak percaya atas prestasi yang ditorehkan baik oleh Pak Tjip maupun Ibu Rose.
Sejak Kompasiana berdiri di tahun 2008 yang lalu, tidak ada penulis Kompasiana atau yang biasa disebut Kompasianer bisa ajeg menulis hingga lebih dari 7.000 artikel dengan menangguk kurang lebih 7 juta pembaca.
Tentu di dalam 7.000 artikel tersebut terdapat interaksi yang luar biasa di kolom komentar maupun tanggapan antara Pak Tjip sebagai penulis dengan para pembacanya, baik yang sudah mengenalnya secara akrab maupun para Kompasianer yang berbilang "newbie" atau pendatang baru.
Benar bahwa Kompasiana yang saya dirikan bersama kawan-kawan di harian Kompas dan kompas.com menjadi hikmah sekaligus anugerah tersendiri bagi para penulis yang konon jumlahnya telah mencapai lebih dari 3 juta orang penulis itu.
Saya sendiri tidak menyangka komunitas penulis akan menjadi sebanyak itu dan barangkali menjadi komunitas penulis terbesar di dunia. Dalam konteks ini Pak Tjipt adalah Kompasiana itu sendiri.
Di Kompasiana, Pak Tjip seolah-olah mendapatkan titik balik kehidupannya dengan terus-menerus menulis tanpa putus. Tidak menutup mata, berkat Kompasiana saya berhasil menulis sejumlah buku, menjadi editor profesional dan sering diminta untuk memberikan pelatihan menulis di berbagai tempat
 Itu hikmah yang luar biasa dari irisan saya dengan Kompasiana. Dalam satu titik, saya lebih dikenal sebagai pendiri Kompasiana dari sekadar wartawan harian Kompas.
Namun demikian, tanpa bermaksud mentrikotomikan ketiganya, bagi saya Kompasiana, kompas.com dan harian Kompas memiliki arti tersendiri hingga mengantarkan saya ke gerbang pensiun. Bahkan berkat konsistensi menulis yang terus saya lakukan, kini didapuk sebagai konsultan media di majalah khusus di beberapa Kementerian.
Hari-hari pensiun dari pekerjaan formal sebagai wartawan sejak awal 2017 saya isi dengan kegiatan menulis.
Kembali kepada Pak Tjip, saya melihat Pak Tjip sebagai gambaran dari diri saya dalam hal berliterasi dan menulis, yaitu konsistensi. Konsistensi menghasilkan presisi dan ketap prestasi.
Dengan lebih dari 7.000 tulisan yang dihasilkan dari tangannya dan beribu-ribu teman yang diperoleh atas hasil interaksinya di Kompasiana, Pak Tjip menjadikan "beyond" Kompasianer dalam arti yang sesungguhnya. Ia adalah "Outlier" yang berada di luar statistik Kompasianer pada umumnya. Pak Tjip istimewa.
Berbagai tulisan dengan berbagai topik dapat kita baca dengan mudah dan renyah serta tentu saja bermanfaat. Tulisan yang tidak muluk-muluk tetapi biasanya mengenai pengalaman pribadi. Juga pengalaman kehidupannya di Australia tempat di mana selama ini mereka berdua tinggal.
Oh ya, tentang Australia ini meskipun keduanya sudah lama menetap di Negara Kanguru ini, tetapi salah satu wujud kecintaannya kepada Tanah Air ia masih tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya.
Pak Tjip dan Bu Rose adalah teladan dalam kehidupan yang senyatanya. Mereka adalah oase di tengah gurun pasir perilaku media sosial yang cenderung destruktif dan sarkastik dalam berkata-kata.
Jika kita menganggap Kompasiana sebagai sebuah media sosial yang dulu sekedar blog keroyokan dan kini sudah bermetamorfosa menjadi sebuah media sosial yang lebih dari sekedar Facebook atau X (Twitter), maka orang seperti Pak Tjip dan Bu Rose adalah netizen yang sangat langka dan berharga
 Andai para netizen bersikap sama seperti Pak Tjip dan Ibu Rose yang memegang teguh kesantunan mereka, maka dunia media sosial penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Bukan tempat gersang, rusuh, dan penuh caci maki, saling merendahkan bahkan diantara teman sendiri sebagaimana terlihat di Facebook, YouTube maupun X.
Tidak setiap manusia terlahir memiliki humanisme yang tinggi. Pak Tjip dan Ibu Rose adalah kekecualian.
Tidak sekedar menyapa melalui tulisan-tulisannya di komen di Kompasiana maupun cara dia "blog walking" ke berbagai penulis-penulis lainnya sekedar menyapa atau mengomentari tulisan, tetapi dalam dunia nyata mereka berdua mengimplementasikan "ukhuwah islamiyah" itu dengan cara bertemu muka, bertatap pandang dan saling langsung berbicara.
Tidak jarang saat berkesempatan berada di Jakarta, Pak Tjip beberapa kali mengundang saya sekedar minum kopi atau bahkan makan siang di warung Padang kesukaan.
Tidak jarang pula saya mendengar Pak Tjip tiba-tiba mengirimkan makanan untuk para awak Kompasiana yang bekerja di Palmerah. Dalam kesempatan itu biasanya Pak tjip mengabarkan keberadaannya dan meminta saya untuk bergabung.
Jika saya kebetulan berada di Jakarta dan tidak sedang berada di luar kota, maka saya selalu menyempatkan untuk datang. Karena itu tadi, saya menghormati Pak Tjip dan Bu Rose bukan sekedar orang tua sosiologis dan humanisnya, melainkan dalam pengertian yang hampir sebenarnya, yakni orang tua sendiri.
 Di saat secara pribadi saya telah kehilangan kedua orang tua secara tragis, saya masih memiliki sosok orang tua seperti pasangan Pak Tjip dan Ibu Rose.
Awal tahun 2023 lalu sepenggal perjalanan hidup saya sempat terpuruk karena suatu insiden yang tidak disangka-sangka, saat saya terjatuh dari ketinggian yang menyebabkan rahang dan gigi-geligi saya rusak berat.
Saya terpuruk selama dalam pengobatan intensif. Fisik bisa teratasi, tetapi psikis luput dan karenanya saya menderita trauma.
Tetapi tatkala ingat perjalanan hidup Pak Tjip yang pernah mengalami kecalakaan yang jauh labih parah dari yang sekadar saya alami, semangat saya tumbuh. "Bukankah Pak Tjip tetap survive di saat nyawanya hampir melayang," batin saya dalam keterpurukan. Karenanya saya bangkit dan tidak larut dalam keterpurukan.
Bahwa Pak Tjip dan Bu Rose diberi Tuhan usia yang demikian panjang, yakni melebihi 80 tahun yang sering dikatakan bonusnya usia--mengingat usia Nabi Muhammad dalam Khazanah Islam berusia 63 tahun di saat wafat--tetapi kebersamaannya yang diikat oleh perkawinan sakral selama 60 tahun merupakan prestasi yang luar biasa.
Di saat usia harapan hidup yang semakin berkurang pencapaian usia 60 tahun pernikahan saat ini boleh dianggap sebagai sesuatu yang sangat langka dan jarang terjadi lagi. Dengan Cinta Pak Tjip bersama Ibu Rose mengarungi bahtera rumah tangga selama 60 tahun.
Saya beruntung, 10 tahun lalu dapat menghadiri perkawinan emas Pak Tjip dan Ibu Rose di Jakarta. Tidak terasa perkawinan keduanya telah memasuki masa Perkawinan Berlian.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang jarang lagi memiliki batu permata berupa berlian karena harga dan nilainya sedemikian mahal dibanding emas. Akan tetapi Pak Tjip dan Iu Rose telah memiliki keduanya; emas maupun berlian perkawinan mereka.
Tidak ada kata-kata yang layak terucap selain menyampaikan selamat dan bangga yang luar biasa untuk Pak Tjip dan Ibu Rose sebagai teladan kehidupan yang senyatanya.
(Pepih Nugraha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H