Ada banyak alasan yang membuat Anda berpisah dengan kekasih yang kini sudah menjadi mantan terindah itu. Alih-alih mendapat kekasih baru, percayalah sang mantan tetap hidup dalam ingatan Anda, bukan?
Demikianlah kiranya "nature" filsafat dalam hidup Anda sebagai seorang penulis. Untuk pertama kali sulit didekati, merasa terlalu "tinggi" buat Anda, kaku, "menyeramkan", padahal di sana terdapat keanggunan luar biasa jika Anda mampu menaklukkannya.Â
Namanya mengenang mantan terindah, tidak setiap saat, bukan?Â
Rimba filsafat itu rumit dan ruwet, Anda akan terjebak dalam khazanah pemikiran berbagai orang bijak yang masing-masing punya pendirian kukuh dan terkadang dengan ego yang kuat. Anda tidak perlu mengambil semua, cukup mengetahui jalan pikiran para filsuf itu.
Lalu, apa pentingnya penulis belajar dan kemudian menguasai filsafat?
Pertanyaan ini sering terlontar di kelas-kelas menulis yang saya ikuti. Jawaban saya selalu begini, "karena filsafat ibu dari segala ilmu, ia lahir jauh sebelum agama-agama yang dipeluk miliaran manusia di dunia ini ada. Ia berlimpah kebijaksanaan, juga preseden, atau sesuatu yang telah mendahului."
Rupanya jawaban saya sering tidak memuaskan peserta, karenanya saya suka. Dengan menyatakan kurang puas atau kurang mengerti, terbuka peluang untuk mengeksplorasi gagasan ini lebih dalam.Â
Untuk memudahkannya, saya menjelaskan bahwa senjata ilmu filsafat itu hanya tiga, yaitu bertanya, bertanya, dan bertanya!Â
Dengan terus bertanya, kedalaman akan sebuah pemahaman akan terus digali sampai ke dasarnya. Istilahnya sampai jawaban atas pertanyaan itu mentok, tidak bisa dijawab lagi.
Nah, istilah "tidak bisa dijawab lagi" itu tidak dikenal dalam filsafat. Setiap pertanyaan pasti tersedia jawaban, bahkan saat mempertanyakan eksistensi Tuhan sekalipun. Bayangkan, Tuhan yang dalam keyakinan tertentu tidak bisa lagi dipertanyakan (asal-usul maupun keberadaannya), dalam filsafat tidak berlaku.Â