Kemarin saya membahas mengenai perlunya penulis biografi menguasai teknik bercerita, lisan dan terutama tulisan tentu saja. Sebab, yang akan kamu buat itu adalah kisah perjalanan hidup seseorang dalam bentuk tulisan.
Kemarin saya berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak kampung Kandangwesi bernama Boncel dalam kisah bertajuk "Dalam Boncel".
Apa yang saya ceritakan tidak sama dengan teks aslinya, bahkan almarhum ayah saya tidak pernah menyebut nama anak Bupati itu Asep Onon, itu kreasi bin variasi yang saya buat saja.
Poinnya bukan pada persoalan presisi-tidaknya teks cerita yang pada masa lalu ditulis sejumlah sastrawan Sunda. Poin saya adalah bagaimana penulis biografi itu mampu bercerita tentang perjalanan hidup seseorang secara hidup, menarik dan dramatis.
Sebisa mungkin ia mengaduk-aduk emosi pembaca atau pendengar, sampai ketika pembaca/pendengarmu itu menangis, berteriak kesal atau mengumpat, artinya apa yang kamu ceritakan cukup berhasil.
- Kang, aku sudah ga tahan untuk mendengar kelanjutan kisah Si Boncel yang kemarin terputus itu...
+ Sebenarnya ini cerita klasik, kamu pasti sudah bisa menebak akhir kisahnya.
- Iya sih, tapi tetep saja ingin mendengar kelanjutan ceritanya.
+ Baiklah... tapi, geser dulu cangkir kopi itu lebih dekat lagi...!
- Baiklah, Kang.
+ Oke, dengarkan, ya...!