Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller! (Part 2)

4 Agustus 2020   11:33 Diperbarui: 4 Agustus 2020   17:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya membahas mengenai perlunya penulis biografi menguasai teknik bercerita, lisan dan terutama tulisan tentu saja. Sebab, yang akan kamu buat itu adalah kisah perjalanan hidup seseorang dalam bentuk tulisan.

Kemarin saya berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak kampung Kandangwesi bernama Boncel dalam kisah bertajuk "Dalam Boncel".

Apa yang saya ceritakan tidak sama dengan teks aslinya, bahkan almarhum ayah saya tidak pernah menyebut nama anak Bupati itu Asep Onon, itu kreasi bin variasi yang saya buat saja.

Poinnya bukan pada persoalan presisi-tidaknya teks cerita yang pada masa lalu ditulis sejumlah sastrawan Sunda. Poin saya adalah bagaimana penulis biografi itu mampu bercerita tentang perjalanan hidup seseorang secara hidup, menarik dan dramatis.

Sebisa mungkin ia mengaduk-aduk emosi pembaca atau pendengar, sampai ketika pembaca/pendengarmu itu menangis, berteriak kesal atau mengumpat, artinya apa yang kamu ceritakan cukup berhasil.

- Kang, aku sudah ga tahan untuk mendengar kelanjutan kisah Si Boncel yang kemarin terputus itu...

+ Sebenarnya ini cerita klasik, kamu pasti sudah bisa menebak akhir kisahnya.

- Iya sih, tapi tetep saja ingin mendengar kelanjutan ceritanya.

+ Baiklah... tapi, geser dulu cangkir kopi itu lebih dekat lagi...!

- Baiklah, Kang.

+ Oke, dengarkan, ya...!

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, sudah berbilang windu Boncel menetap di kabupatian. Bupati sangat senang dan menyayanginya, terlebih lagi Boncel yang cukup cerdas itu terampil dalam pekerjaannya sebagai jurutulis.

Tulisan tangannya sangat rapi, lebih bagus dari tulisan tangan Asep Onon, anak Bupati. Huruf tipis-tebalnya saat menulis menggunakan tinta cair, sungguh sangat mengesankan Bupati. Semua kegiatan Bupati tercatat dengan rapi, tanpa ada sejumput pun peristiwa terlewati.

Melihat keterampilan dan kecerdasan Si Boncel, Bupati pun menyekolahkannya ke sekolah lanjutan untuk belajar berhitung, ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya, di samping tentu saja Boncel tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai jurutulis. Karirnya melesat bak meteor.

Sampai kemudian saat usia dewasa tiba, Boncel mengenal seorang gadis berparas jelita seperti noni-noni Belanda. Suatu hari ia menemukan sepucuk surat dalam lipatan bukunya. Buku itu sebelumnya dipinjam oleh perempuan berwajah noni Belanda ini.

"Boncel, ik houd van jouw," demikian isi surat yang ditulis di atas kertas beraroma bunga melati. Boncel tak percaya, sebab ia hanya sebatas suka saja dan tidak mungkin menjalin hubungan dengan Clara, nama perempuan muda berwajah noni Belanda itu.

"Aku terlalu hina, kau tak pantas berhubungan denganku, Clara, apalagi sampai menjalin asmara," ungkap Boncel di suatu petang, saat mereka bertemu dan duduk di kursi panjang di bawah pohon beringin yang rindang.

Clara mendekat, menempelkan bibir tipisnya ke telinga Boncel, "Maar, ik houd zeer van jouw, Boncel."

"Maar... ik schaam me, ik ben een verachtelijk persoon, Clara!"

"Ah, laat maar!"

- Kang, itu tadi percakapan dalam bahasa Jerman, ya?

+ Bukan, bahasa Belanda, Dek!

- Terjemahin dong, Kang, aku 'roaming' nih.

+ Intinya Si Clara gadis Belanda itu menyatakan cintanya kepada Boncel. Boncel merasa malu dan merasa dirinya sebagai orang yang hina, tetapi Clara 'keukeuh' tak dapat melupakannya.

- Kok nasib Boncel beda jauh ya sama aku, Kang...

+ Kenapa memang?

- Aku malah sering dilupakan pacar-pacarku.

+ Ah dasar kamu... oke, saya lanjutkan ceritanya, ya!

Boncel tidak bisa menolak cinta Clara, terlebih lagi ia seorang perempuan dengan paras di atas rata-rata perempuan lainnya, bahkan Asep Onon pun tidak diliriknya.

Bupati merestui asmara mereka dan pada suatu titik, Bupati meminta Boncel untuk segera menikahinya. Pesta akan diadakan besar-besaran karena Boncel sudah dianggap anak sendiri.

Sayang seribu sayang, selain mabuk kepayang dan mabuk kekuasaan, Boncel lupa dari mana ia berasal. Sempat teringat kedua orangtuanya di Kandangwesi, tetapi kepada Clara ia berkilah kedua orangtuanya sudah lama meninggal.

"Tidakkah kau menyusul emak-bapakmu di kampung, karena perkawinan harus disaksikan kedua orangtuamu sebagai wali," Bupati mengingatkan saat beberapa hari lagi pesta pernikahan akan dimulai. Tetapi Boncel berkilah, "Tidak perlu, Tuan Bupati, kedua orangtua sahaya kemungkinan besar sudah meninggal."

"Tapi kau perlu membuktikannya ke sana, Boncel!"

"Tidak usah, Tuan Bupati, saat sahaya meninggalkan Kandangwesi, mereka sudah tua-renta."

"Kau tidak akan menyesal nantinya, Boncel?"

"Tidak, Tuan Bupati!"

Singkat cerita, pesta pernikahan pun berlangsung dengan pesta selama tiga hari-tiga malam. Kini Boncel sudah menjadi panggede di kabupatian, boleh dibilang jabatannya sebagai asisten bupati.

Nun jauh di kampung Kangdangwesi, bertahun-tahun lamanya kedua orangtua Boncel yang sudah renta itu menanggung rindu tak tertahankan. Mereka berharap anak semata wayangnya itu kembali sejenak sekedar menemuinya, agar rindu orangtua terobati.

"Berbilang tahun, tidak ada kabar beritanya tentang Si Ocen," kata Pak Boncel, "Pernah selintas kudengar cerita, ada anak kampung dari Kandangwesi yang sekarang sudah jadi pejabat kepercayaan Bupati, jangan-jangan itu Ocen anak kita ya. Mak."

"Jangan ngelantur, sebaiknya kita pergi ke kota untuk membuktikannya," balas Mak Boncel."

"Baiklah, besok kita berangkat..."

- Kang, mau ke mana?

+ Lupa, Dek, hari ini ada janji harus ketemuan dengan sesorang, besok diteruskan lagi, ya!

- Iiiihhh... kok diputus begitu saja sih, Kang, bikin pusing deh. (Bersambung)

PEPIH NUGRAHA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun