Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller! (Part 2)

4 Agustus 2020   11:33 Diperbarui: 4 Agustus 2020   17:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menulis biografi. (sumber: pxhere.com)

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, sudah berbilang windu Boncel menetap di kabupatian. Bupati sangat senang dan menyayanginya, terlebih lagi Boncel yang cukup cerdas itu terampil dalam pekerjaannya sebagai jurutulis.

Tulisan tangannya sangat rapi, lebih bagus dari tulisan tangan Asep Onon, anak Bupati. Huruf tipis-tebalnya saat menulis menggunakan tinta cair, sungguh sangat mengesankan Bupati. Semua kegiatan Bupati tercatat dengan rapi, tanpa ada sejumput pun peristiwa terlewati.

Melihat keterampilan dan kecerdasan Si Boncel, Bupati pun menyekolahkannya ke sekolah lanjutan untuk belajar berhitung, ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya, di samping tentu saja Boncel tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai jurutulis. Karirnya melesat bak meteor.

Sampai kemudian saat usia dewasa tiba, Boncel mengenal seorang gadis berparas jelita seperti noni-noni Belanda. Suatu hari ia menemukan sepucuk surat dalam lipatan bukunya. Buku itu sebelumnya dipinjam oleh perempuan berwajah noni Belanda ini.

"Boncel, ik houd van jouw," demikian isi surat yang ditulis di atas kertas beraroma bunga melati. Boncel tak percaya, sebab ia hanya sebatas suka saja dan tidak mungkin menjalin hubungan dengan Clara, nama perempuan muda berwajah noni Belanda itu.

"Aku terlalu hina, kau tak pantas berhubungan denganku, Clara, apalagi sampai menjalin asmara," ungkap Boncel di suatu petang, saat mereka bertemu dan duduk di kursi panjang di bawah pohon beringin yang rindang.

Clara mendekat, menempelkan bibir tipisnya ke telinga Boncel, "Maar, ik houd zeer van jouw, Boncel."

"Maar... ik schaam me, ik ben een verachtelijk persoon, Clara!"

"Ah, laat maar!"

- Kang, itu tadi percakapan dalam bahasa Jerman, ya?

+ Bukan, bahasa Belanda, Dek!

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun