Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, sudah berbilang windu Boncel menetap di kabupatian. Bupati sangat senang dan menyayanginya, terlebih lagi Boncel yang cukup cerdas itu terampil dalam pekerjaannya sebagai jurutulis.
Tulisan tangannya sangat rapi, lebih bagus dari tulisan tangan Asep Onon, anak Bupati. Huruf tipis-tebalnya saat menulis menggunakan tinta cair, sungguh sangat mengesankan Bupati. Semua kegiatan Bupati tercatat dengan rapi, tanpa ada sejumput pun peristiwa terlewati.
Melihat keterampilan dan kecerdasan Si Boncel, Bupati pun menyekolahkannya ke sekolah lanjutan untuk belajar berhitung, ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya, di samping tentu saja Boncel tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai jurutulis. Karirnya melesat bak meteor.
Sampai kemudian saat usia dewasa tiba, Boncel mengenal seorang gadis berparas jelita seperti noni-noni Belanda. Suatu hari ia menemukan sepucuk surat dalam lipatan bukunya. Buku itu sebelumnya dipinjam oleh perempuan berwajah noni Belanda ini.
"Boncel, ik houd van jouw," demikian isi surat yang ditulis di atas kertas beraroma bunga melati. Boncel tak percaya, sebab ia hanya sebatas suka saja dan tidak mungkin menjalin hubungan dengan Clara, nama perempuan muda berwajah noni Belanda itu.
"Aku terlalu hina, kau tak pantas berhubungan denganku, Clara, apalagi sampai menjalin asmara," ungkap Boncel di suatu petang, saat mereka bertemu dan duduk di kursi panjang di bawah pohon beringin yang rindang.
Clara mendekat, menempelkan bibir tipisnya ke telinga Boncel, "Maar, ik houd zeer van jouw, Boncel."
"Maar... ik schaam me, ik ben een verachtelijk persoon, Clara!"
"Ah, laat maar!"
- Kang, itu tadi percakapan dalam bahasa Jerman, ya?
+ Bukan, bahasa Belanda, Dek!