Dengan bangga kamu bikin status di Facebook bahwa kamu sudah berhasil membuat tulisan biografi seseorang.
Tetapi saat saya ngasih komen, apakah kamu sudah melakukan riset sebelum menulis biografi, kamu malah balik bertanya; apa itu riset? Seberapa penting riset untuk penulisan biografi dilakukan? Saya pun membalas seenaknya, "Ga penting-penting amat sih, tetapi riset SANGAT PENTING!"
- Apakah mungkin tulisan biografi lahir tanpa riset, Kang?
+ Mungkin saja, tapi kenanya seperti mengarang bebas untuk latihan menulis; tanpa fakta, tanpa bukti, tanpa verifikasi.
- Jadinya seperti cerita pendek, begitu?
+ Jangan salah, cerpen pun harus pake riset, apalagi novel.
- Jadi gimana cara melakukan riset itu, Kang?
+ Okay saya jelaskan serba singkat saja ya, Dek.
- Kok ngejelasinnya ke aku suka serba singkat gitu sih, Kang?
+ Sebab kalau berpanjang-panjang kamu ngantukan...
Riset atau "research" dalam bahasa Inggris adalah aktivitas melakukan penelitian, meneliti objek tertentu agar mendapat bukti dan kebaruan. Tapi "recherchez" dalam Perancis maknanya "anda mencari".
Apakah sama dengan riset? Mencari tentu saja berupaya menemukan sesuatu, sementara riset meneliti objek tertentu. Tapi bagi saya, riset juga sebuah upaya pencarian.
Nah, riset untuk menulis, khususnya menulis biografi, ada dua macam. Dua-duanya sebisa mungkin harus kamu lakukan:
1. Primary sources.
2. Secondary sources.
Mari saya jelaskan satu persatu:
Primary sources adalah informasi yang diperoleh dari tangan pertama orang yang mau kamu tulis. Karena dari tangan pertama, tentu saja informasi yang diperoleh nanti akan sangat terpercaya. Kamu bisa mengetahui langsung dari yang bersangkutan, bukan lagi katanya-katanya-katanya.
Apa saja bentuk primary sources itu?
Tidak lain -dan ini yang utama- adalah WAWANCARA. Bagus sih kalau kamu bisa wawancara langsung tatap muka, tetapi di zaman sekarang yang sudah dimanja teknologi informasi, wawancara menggunakan Zoom atau Google Gangouts saja sudah lebih dari cukup.
Wawancara berupa daftar pertanyaan juga bisa disampaikan melalui Email, kamu tinggal menunggu saja jawabannya.
Apakah hanya wawancara semata? Tentu tidak...
Kalau kamu bisa memperoleh atau mengakses catatan harian konvensionalnya dalam bentuk tulisan tangan, itu sesuatu banget. Pasti serulah. Kamu juga bisa membuka membuka-buka jurnal online, blog/website pribadinya, mengakses akun medsosnya seperti Facebook, Twitter, Instagram atau Tiktok. Kalau ada biografi profesional seperti LinkedIn pun akan sangat membantu.
Kalau orang yang kamu tulis itu punya memoar, bacalah memoar itu, di sana kamu akan menemukan harta karun informasi penting tentang orang yang kamu tulis itu.
Sedangkan secondary sources berupa informasi yang bisa kamu peroleh dari majalah atau dokumen lainnya yang pernah memuat sosok yang akan kamu tulis itu.
- Ribet amat nulis biografi itu ya, Kang?
+ Yang ga pake ribet itu ya ga nulis apa-apa, Dek.
- Maksudku, nulis biografi tidak sesederhana itu, kita malah harus jadi periset atau peneliti sebelum menulis.
+ Itulah kelebihan menulis biografi, kamu wajib melakukan riset. Inget 'kan tadi soal primary sources dan secondary sources yang sudah saya jelaskan?
- Iya sih, tapi aku masih penasaran, bagaimana setelah informasi itu diperoleh, baik dari primary sources maupun secondary sources, itu pasti setumpuk informasi. Apa yang harus kulakukan dengan tumpukan informasi itu, Kang, apa semuanya harus dijejalkan dalam tulisan?
+ Hemmm.... kadang-kadang kamu pinter juga, Dek...
- Apakah semua informasi itu harus termuat dalam tulisan biografi?
+ Ya tentu tidak semua, ibarat tukang tanaman, kamu harus jadi tukang menyiangi tanaman, mana daun yang sudah layu atau ranting yang sudah kering, kamu buang saja.
- Oalah.... jadi aku harus membuang informasi yang sudah capek-capek kudapat dari hasil riset?
+ Anggaplah mantan yang pernah menyakitimu, karenanya harus dibuang dari ingatanmu!
- Oke deh, Kang, sekarang ajari aku bagaimana mengayak informasi yang berguna dan menyiangi informasi yang busuk dan mengering dan karenanya harus dibuang untuk menulis biografi.
+ Tidak segampang itu saya mau mengajarimu, Dek... (Bersambung)
PEPIH NUGRAHA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H