Diberangus? Maksudnya dimatikan, begitu? Iya, dimatikan! Dibredel!
Gila! Sebuah media yang menampung ratusan ribu penulis warga mau diberangus begitu saja, apa salahnya!?
Inilah yang kemudian saya ceritakan blak-blakan kepada Mbak Ana. lewat program #RuangBaca itu. Anda semua bisa tahu jawaban dan musabab mengapa Kompasiana nyaris dibikin tidak bernyawa itu dengan mengikuti video yang menayangkan tanya-jawab itu.
Tetapi satu hal yang ingin saya tekankan adalah, bahwa Anda, khususnya para Kompasianer, harus mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap Kompasiana. Sebab, saya katakan dalam wawancara, membangun Kompasiana itu dilakukan dengan"berdarah-darah". Ya, mungkin terlalu lebay istilahnya. Tetapi intinya, membangun Kompasiana dan membuatnya tetap hidup di tengah induknya yang tidak meyakini keniscayaan hadirnya media baru, bukan pekerjaan mudah.
Sekarang Kompasiana berada di tangan Nurulloh, anak muda (sebenarnya ga muda-muda banget sih) yang sangat paham luar-dalam tentang Kompasiana. Anak ini yang sering saya reweli, teriaki, ketika ia baru masuk di tahun 2008, saat Kompasiana hamil tua dan siap dilahirkan. Saya percaya betul Kompasiana akan menjadi lebih maju di tangan anak ini!
Boleh jadi penulis Kompasiana sekarang ini sudah mendekati angka setengah juta jiwa. Jika ini benar, sungguh suatu jumlah yang sangat-sangat buesssaaaar... untuk sebuah komunitas penulis.
Kompasiana tinggal memetik hasilnya. Ia sudah menjadi entitas bisnis sendiri di lingkup Kompas-Gramedia. Ia sudah menjadi "gacoan" bagi perusahaan induk karena kekhasan yang dimilikinya. Jika Tribunnews menjadi media online nomor wahid, untuk Kompasiana dengan sedemikian banyak penulis di dalamnya, harus diberi tempat di podium terhormat KG.
Dan.... memang tidak banyak yang tahu kalau Kompasiana sebenarnya nyaris tinggal nama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H