Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Mengajar Menulis 4] "Storytelling" yang Menggelinding

1 Desember 2018   18:21 Diperbarui: 1 Desember 2018   18:33 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang lelaki Papua datang menghampiri. Perawakannya besar, tetapi tidak terlalu tinggi. Mengulurkan tangan mengajak salaman. "Saya Hendrik," katanya. Saya menerima uluran tangannya, menyalaminya juga. "Boleh saya ngobrol sebentar?"

"Tentu saja," jawab saya. Tidak mengajaknya duduk, tetapi tetap berdiri. Hendrik yang saya lihat putera asli Papua ini kemudian bercerita bahwa ia pernah menelusur Trans Siberia menggunakan kereta api di udara yang beku. Dia menunjukkan album foto-foto yang tampak menarik. "Sudahkah Pak Hendrik tulis perjalanan ke Siberia itu dalam sebuah catatan?"

"Itulah," jawabnya, "Saya ndak tahu harus mulai dari mana!?"

Percakapan di atas adalah khas, situasi yang kerap saya hadapi seusai berbagi pengetahuan dan pengalaman menulis kepada peserta, termasuk pelatihan menulis untuk karyawan Freeport Indonesia di Papua beberapa waktu lalu. Rata-rata pertanyaannya hampir sama; "Dari mana memulainya?", "Bagaimana memulainya?" "Bagaimana harus memulainya?" atau "Apa yang harus saya ceritakan?"

Saya mengajak Hendrik untuk ke luar ruangan tempat pelatihan dilakukan, di sebuah ruangan di Hotel Rimba Papua, biar agak tenang.

"Bisakah Pak Hendrik menceritakan perjalan ke Trans Siberia kepada saya melalui foto-foto itu?" Saya menunjuk album berisi foto-foto perjalannya.

"Tentu," sambarnya. "Tapi, maksudnya apa ini?"

"Menulislah sebagaimana Pak Hendrik bercerita kepada saya!"

Hendrik terdiam. Beberapa saat kemudian dia tertawa lebar. "Oh, jadi itu prinsip 'Storytelling' yang tadi Kang Pepih sampaikan itu?"

Saya mengangguk, "Ya, prinsipnya seperti itu. Sesederhana itu. Tetapi tentu saja ada sejumlah teknik lanjutan bagaimana menulis 'storytelling' yang menonjolkan dramatisasi. Belum bisa saya lanjutkan hari ini, perlu waktu yang tidak sedikit."

Storytelling sedang naik daun. Gaya bercerita ini dipicu oleh merebaknya media sosial yang menampung tulisan warga. Blessing, warga yang tidak paham ilmu menulis -apalagi ilmu jurnalistik- menuliskan pikiran dan perasaannya dengan gaya sendiri; bercerita. Status-status penuh cerita heroisme, dramatis, klimaks, resolusi, dan seterusnya, yang semua itu menjadi unsur penting dari sebuah "storytelling".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun