Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serial Orba: Awas Kalau Dimuat!

10 Desember 2018   21:12 Diperbarui: 10 Desember 2018   21:07 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Harian Kompas

Awal bekerja di Harian Kompas hal yang menautkan ingatan saya dengan Orde Baru di bawah kuasa Presiden Soeharto adalah peringatan "Awas jangan muat berita ini!"

Tidak persis sama seperti itu kalimatnya, tetapi pada saat saya masuk tahun 1990, saat rezim Orba masih kuat-kuatnya, di Lantai 3 Redaksi Harian Kompas di bilangan Palmerah Selatan, terdapat satu papan khusus pengumuman. Mungkin tepatnya peringatan. Yaitu, peringatan dari ABRI yang sekarang disebut TNI.

Papan itu menjadi semacam prasasti atau penanda, bahwa pada suatu massa penguasa demikian sangat represif, sampai mengatur berita yang boleh dan tidak boleh dimuat, padahal itu berita peristiwa seperti jatuhnya pesawat militer jatuh, nyungsepnya heli ABRI, dan seterusnya.

Kalau sepantar Dispenad atau Dispen Mabes ABRI, ya masuk akallah minta berita jangan ditulis, karena pangkatnya sudah setara jenderal. Lha yang nelpon ke kantor Kompas bahkan setingkat Kodim atau bahkan Koramil!

Bayangkan dengan pangkat yang tertinggi di Korem, Kodim atau Koramil, mereka sudah bisa ngatur koran terbesar di NKRI itu hanya dengan menyampaikannya lewat telpon.

Yang lebih unik lagi, saat harus menulis Soeharto sebagai Presiden RI, pers Indonesia di bawah kendali Tuan Harmoko selaku Menpen saat itu, tidak boleh menuliskan namanya sembarangan. Pers wajib menulis nama "Presiden Soeharto". Ga boleh nulis "Presiden Suharto", "Presiden", apalagi "Soeharto" tok, itu SIUPP bisa tiba-tiba dicabut. Lihat, sedemikian mengaturnya Orba!

Setelah Soeharto tumbang, barulah di zaman BJ Habibie kebebasan pers agak terasa, apalagi Menpen Yunus Yosfiah memberangus SIUPP yang selama Orba ada menjadi momok menakutkan bagi kebebasan pers.

Di zaman Orba, ada kebebasan pers, tetapi kebebasan semu. Di zaman Habibie ini, koran boleh menulis "BJ Habibie" atau bahkan "Habibie" saja tanpa embel-embel Presiden. Yang penting "Presiden" cukup disebut sekali saja.

Zaman Gus Dur lebih leluasa lagi. Ada yang menulis "Presiden Gus Dur", "Abdurrahman Wahid", atau bahkan "Gus Dur" saja tanpa embel-embel Presiden. Tradisi baik ini dilanjutkan Megawati, SBY, dan Jokowi sampai sekarang.

Aneh saja kalau ada sekelompok orang yang ingin mengembalikan kondisi yang sudah demokratis ini ke masa lalu, ke masa Orba berkuasa, lha wong nulis nama Presiden saja sampai diatur-atur gitu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun