Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

[Serial Orba] Komunikasi Tanpa Kata Soeharto yang Sulit Ditebak

27 November 2018   22:22 Diperbarui: 29 November 2018   08:56 2574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amati foto bersejarah ini! 

Seseorang tengah membantu "menyeret" Presiden Soeharto dengan sepotong tongkat agar bisa menyeberang ke tempat lebih tinggi. Seseorang itu adalah ajudannya. Ajudan itu adalah Try Sutrisno.

Peristiwa yang terekam lewat foto ini terjadi sekitar tahun 1974, saat Try diangkat sebagai ajudan Pak Harto. Saat menjadi ajudan itulah Pak Harto mulai menyukai Try. Bahwa di kemudian hari Try benar-benar mendampingi Soeharto selaku Wakil Presiden, foto bersejarah ini kembali muncul dengan pusparagam analisa.

Sementara pengamat bilang, itu memang gaya komunikasi yang dikembangkan Soeharto, komunikasi nonverbal, tanpa kata-kata atau bahasa kerennya komunikasi nirkata. Komunikan atau lawan bicara, siapapun dia, dipaksa memahami komunikasi nirkata itu.

Dari sisi budaya, gaya komunikasi Pak Harto disebut "high context culture" (kebudayaan konteks tinggi) sekadar membedakannya dengan "low contect culture" (kebudayaan konteks rendah). Gampangnya, gaya komunikasi politik Pak Harto sering samar-samar (bahkan tersembunyi), sukar ditebak dan sulit dipahami karena minimnya kata-kata yang terucap.

Lawan bicara, yang biasanya dari kalangan terdekatnya juga, "dipaksa" memahami gesture tubuh atau mimik wajahnya saat menyatakan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju terhadap pilihan yang disodorkan. Gaya komunikasi kebudayaan konteks tinggi ini ditandai dengan pesan implicit , kadang puitis, juga mengawang-awang, tidak langsung dan tidak berterus terang, juga penuh kepura-puraan.

Si lawan bicara cukup menangkap gerakan tangan, intonasi suara, gerakan tubuh , ekspresi wajah, sorot mata atau gerak fisik bagian tubuh lainnya. Lalu, pahamlah si lawan bicara apa yang dikatakan Soeharto atau apa yang dimauinya sesungguhnya.

Bandingkan dengan gaya komunikasi kebudayaan konteks rendah yang ditandai dengan eksplanatif (menjelaskan secara rinci), eksplisit atau langsung/linear/to the point). Gaya bicaranya pun langsung, lugas dan berterus terang. Banyak yang mengatakan cenderung tidak sopan dan aneh.

Namun demikian, sesekali Soeharto juga berbicara gaya lugas saat melempar ancaman "Gebuk", misalnya, kepada siapa saja yang melawan konstitusi atas keinginan penggantian dirinya selaku Presiden RI yang mulai disuarakan kaum kritis, khususnya anggota "Petisi 50" dan sejumlah gerakan-gerakan mahasiswa.

Namun keseringannya, Soeharto cenderung menggunakan gaya komunikasi "high contect culture" ini, yang membuat Orde Baru penuh teka-teki. Teka-teki yang dibuat Soeharto sendiri. Pemilihan kata dalam komunikasi Soeharto sangat halus dan tersamar. Intonasi suara yang tidak keras, tapi bobotnya terasa atau bisa dirasakan oleh lawan bicaranya.

Muladi yang pernah menjabat wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia di era Soeharto pernah mengungkapkan, banyak tidaknya Soeharto bicara tergantung apakah ia suka atau tidak, senang atau tidak, dengan stafnya atau laporan stafnya.

Jika Soeharto tidak suka, dia memilih untuk tidak berkomentar. Ada bahasa-bahasa isyarat yang harus dipahami jika ia tidak berkenan. Bahkan menurut Muladi jika Soeharto memerintah stafnya, ia tidak pernah secara jelas mengutarakannya dan semua tergantung penafsiran sendiri orang-orang yang mendengarnya.

Bicara komunikasi nirverbal, tongkat yang ada dalam foto itu tidak lain diterjemahkan sebagai "estafet" kepemimpinan, sehingga terjemahan bebasnya adalah Soeharto suatu saat akan mengestafetkan kepemimpinannya pada Try Sutrisno, selaku Presiden RI tentunya.

Lantas ketika Try sudah selangkah lagi menggantikan Soeharto saat duduk sebagai Wakil Presiden, skenario berubah dan Try orang yang cukup tahu diri.

Sekadar mengingatkan saja, saat Try kala itu dimajukan sebagai cawapres oleh para anggota MPR Fraksi ABRI, yang kemudian disambar PPP dan PDI. Hanya Golkar yang belum menyatakan dukungannya. Soeharto tidak suka di "fait accompli" (didahului). Tentu dia marah. Tetapi karena Golkar dan ABRI sama-sama instrumen politik kekuasaannya, ia tidak ingin ada perpecahan yang meluas. Try akhirnya menjadi Wapres menggantikan Sudharmono.

Nah, ketika nama Try menghiasi pemberitaan media nasional pada tahun 1993 akibat manuver anggota MPR Fraksi ABRI yang diamini PPP dan PDI ini, orang mengingat lagi foto bersejarah ini: "estafet kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Try Sutrisno".

Boleh jadi Soeharto paham betul makna yang terdapat dalam selembar foto berwarna saat Try menjadi ajudannya itu. Makanya saat itu ada rumor, Soeharto lebih suka memilih BJ Habibie yang berpenampilan cerdas tetapi sangat loyal itu atau mengangkat kembali Sudharmono, daripada harus memilih Try Sutrisno yang tentu saja "selangkah" lagi menjadi pemimpin nasional pengganti dirinya.

Akan tetapi di kalangan elite dan purnawirawan ABRI berpengaruh saat itu, sosok Sudharmono kurang disukai, bahkan sejak Soeharto mengangkatnya sebagai Wapres di tahun 1988.

Untuk menunjukkan ketidaksukaannya itulah manuver dilakukan oleh anggota MPR Fraksi ABRI, yang saat itu mekanisme model itu masih diperbolehkan.

Ini juga tidak lain komunikasi nirkata dari para politikus, bahwa mengajukan nama berarti ingin agar Soeharto memilih cawapres yang mereka sodorkan, yaitu Try Sutrisno, bukan yang lainnya.

Adapun Try Sutrisno sendiri orang yang tahu diri jelang suksesi Maret 1998 saat Soeharto memilih BJ Habibie sebagai Wapres barunya. Sementara Soeharto tetap masih berhasrat untuk berkuasa lagi di lima tahun berikutnya hingga 2003 (dan setelah itu bisa dipilih kembali). Hanya saja sejarah bicara lain; Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998.

Dan, estafet kepemimpinan segaimana yang tergambar dalam foto yang dibahas ini tidak pernah benar-benar terwujud. BJ Habibie-lah yang kemudian menggantikan Presiden Soeharto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun