[caption id="attachment_258946" align="alignnone" width="560" caption="Prita Mulyasari/Kompas.com"][/caption] "Di Indonesia, sosial media baru sebatas mendorong gerakan sosial, tetapi masih jauh ke perubahan sosial," demikian saya tegaskan kepada peserta Journalism Day yang diselenggarakan FE Universitas Indonesia, Jumat 3 Mei 2013, kemarin. "Sebuah gerakan sosial di media sosial menggelembung bukan karena sikap rasional pesertanya, lebih karena sikap emosional," kata saya lagi. Tentu saja asumsi dan pendapat saya pribadi ini menjadi ramai di kelompok Subtema 1 yang membahas "Peranan Media Digital dalam Gerakan Sosial". Masing-masing subtema dipimpin oleh tutor. Saya memimpin kelompok Subtema 1 ini. Subtema 2 dengan pembahasan "Berita Negatif Lebih Mengemuka" dipimpin Mas Harry, dan Subtema 3 mengenai "Online sering abaikan akurasi akibat mengejar kecepatan" dipimpin Mas Riza Primadi. Mas Harry dan Mas Riza adalah orang-orang ternama di dunia siaran, khususnya televisi. Peserta yang datang dari Makassar, Riau, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta ini tentu saja menggugat asumsi saya tadi dan meminta bukti soal lebih mengedapannya "emosi" daripada "rasio" warga maya dalam sebuah gerakan sosial di media sosial. Sambil membuka slide berupa power point sederhana yang saya siapkan malam sebelumnya, saya melempar tanya kepada peserta sambil menunjukkan foto Prita Mulyasari. Umumnya para peserta mengenali foto "Ibu rumahtangga" yang pernah berseteru dengan RS OMNI ini. "Ada yang tahu, apa berita terbaru tentang dia (Prita) sekarang?" Umumnya peserta tidak mengetahuinya, sebelum Jimmy, seorang mahasiswa Untar, menjawab bahwa Prita saat ini menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan. Ada seorang peserta yang ternganga, "Hah?" Begitulah, saya katakan, pada saat ramai-ramainya gerakan sosial koin untuk Prita, semua orang seperti serentak mendukung Prita tanpa reserve karena melihat/merasa Prita sedang dizolimi sebuah kekuatan modal dan siap diperkarakan secara hukum. Gerakan sosial di jejaring sosial itu sedemikian dahsyat sampai-sampai "mengubah" cara pandang hakim dalam memutus perkara. Itu karena warga masyarakat, termasuk warga maya di media sosial, lebih mengedapankan emosinya (merasa iba dan kasihan atau simpatik) daripada mengedapankan pikirannya (rasio). "Coba sekarang ketika Prita diam-diam dijadikan caleg oleh PDI Perjuangan di dapil III Banten, apakah ada gerakan sosial serupa yang mempertanyakan kapabilitas dan kapasitas Prita di media sosial?" Peserta bungkam tak berkomentar. Lalu saya tunjukkan foto Angel Lelga yang maaf, dengan pose agak "menantang", plus satu foto Jane Shalimar. Mereka adalah dua dari puluhan artis papan atas yang didorong partai politik sebagai calon legislatif. Saya bilang, "Karena tidak ada sentuhan atau ikatan emosi dengan urusan artis nyaleg, maka tidak ada gerakan sosial di media sosial misalnya 'menolak artis nyaleg' atau 'mendukung artis nyaleg'. Media sosial diam, tidak ada gerakan sosial karena tidak ada sangkut-paut dengan emosi. Padahal kalau kita gunakan pikiran (rasional), bukankah sangat berbahaya artis yang tidak punya kapabilitas membuat undang-undang tetapi kelak babal duduk di DPR kalau berhasil lolos?" Peserta diam, mencatat, dan mengangguk-angguk. Saya masih menunjukkan satu slide foto lagi, yaitu foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga serta kerabat dekatnya. Peserta belum paham apa yang saya tunjukkan. Saya kemudian bertanya, "Adakah gerakan sosial di media sosial yang menolak politik dinasti atau caleg lingkaran Istana?" Beberapa peserta menjawab, "Tidak ada". Karena tidak ada gerakan sosial semacam itu, kata saya lagi, "Saya anggap warga maya tidak menggunakan media sosial sebagai perlawanan dan menyatakan 'tidak ada masalah' dengan politik dinasti atau politik KKN di negeri ini." Saya masih menunjukkan foto-foto Arab Springs yang menjatuhkan sejumlah kepala negara otoriter di kawasan Timur Tengah seperti Tunisia, Mesir, dan Libya, dan ke depan mungkin Suriah atau Iran. Saya bilang, gerakan sosial di media sosial di negara lain mampu menciptakan perubahan sosial, yaitu perlawanan terhadap rezim represif. Warga yang semula takut, tiba-tiba menjadi berani karena merasa tersambungkan satu dengan yang lain, bisa mengukur kekuatan masing-masing berkat jejaring. "Itu perubahan sosial yang paling radikal berkat media sosial," kata saya menjawab pertanyaan seorang peserta di grup Subtema 1 apakah perubahan sosial harus selalu menjatuhkan kepala pemerintahan di suatu negara. Lalu terakhir saya tunjukkan sebuah foto Presiden Barrack Obama yang sedang mengadakan jamuan makan malam dengan para bos dan juragan teknologi informasi seperti bos Apple, bos Microsoft, bos Google, bos Twitter, dan bos Facebook. Dalam foto itu terlihat Obama sedang bersulang dengan para bos IT itu. "Adakah yang bisa menghubungkan foto perjamuan Obama itu dengan gerakan Arab Springs yang menjatuhkan sejumlah pemimpin/kepala negara?" tanya saya. Karena tidak ada yang berkomentar, saya kemudian mengatakan, "Imajinasi liar saya mengatakan, itu adalah pesta  kemenangan Amerika yang mampu merontokkan kepala-kepala negara di Timur Tengah dengan hanya menggunakan kekuatan Twitter dan Facebook sebagai media sosial plus dukungan teknologi informasi lainnya tanpa harus berperang angkat senjata di Timur Tengah!" Peserta banyak yang terperangah, seakan-akan tersadar dari tidur yang berkepanjangan. Sebagai pernyataan pamungkas, kepada peserta pelatihan jurnalistik itu saya berpesan, "Bijaklah menggunakan media sosial. Itu cara terbaik. Ikut atau buatlah gerakan sosial yang bermanfaat ke arah perubahan sosial yang lebih baik berdasarkan pertimbangkan rasional, bukan semata-mata pertimbangan emosional." Demikian saya menutup paparan saya di depan peserta. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H