Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

‎"Tempat Suci" untuk Menulis

10 Maret 2013   12:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:01 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelihatannya berlebihan, lebay kata anak gaul sekarang. Benarkah untuk menulis kita harus memiliki "tempat suci" (sacred place)? Bukankah kata-kata "suci" merujuk pada kegiatan yang ada kaitannya dengan ritual keagamaan, atau setidak-tidaknya terkait religiositas seseorang?

Boleh jadi "ya", sebab yang memproklamirkan bahwa seorang penulis harus punya "tempat suci" itu adalah Joseph John Campbell (1904-1987). Selain dikenal sebagai penulis Amerika jempolan, Campbell juga seorang ahli mitologi dan beberapa tulisan di antaranya mengenai perbandingan agama.

Pertanyaannya; haruskah seorang penulis, Anda atau saya, memiliki tempat khusus untuk menuangkan seluruh ide yang disebut "sacred place" itu?

"Anda harus punya tempat khusus (untuk menulis) di mana barang satu jam atau satu hari Anda tidak tahu apa yang ada di koran hari ini, bahkan Anda tidak tahu (untuk sementara) teman-teman Anda sendiri," kata Campbell.

Memang terkesan belebihan apa yang dikatakan Campbell itu, tetapi saya tangkap di sana mengandung kebenaran. "Tempat suci" untuk menulis bisa saja kamar pribadi yang tertutup, ruang keluarga yang nyaman, taman kota yang segar, atau bahkan kamar tidur yang sunyi.

Bagi penulis tertentu, "sacred place" itu mereka temukan di cafe, warung kopi, atau perpustakaan sambil menikmati wi-fi gratis. Beberapa penulis kenamaan, khususnya di Amerika yang memang benar-benar mendedikasikan diri untuk menulis, ia biasa menyewa cotage di bibir pantai yang menghadap laut selama beberapa pekan ke depan. Menulis, hanya untuk menulis.

Bagi Campbell, "tempat suci" itu semacam tempat inkubasi kreatif (the place of creative incubation) di mana berbagai bentuk tulisan lahir dan mengalir dari tempat ini, baik fiksi maupun nonfiksi. Pada awalnya mungkin tidak akan terjadi apa-apa di sana, kata Campbell, "Tetapi jika Anda memiliki tempat yang suci dan menggunakannya, sesuatu pada akhirnya akan terjadi di sana."

Kalimat terakhir Campbell "sesuatu pada akhirnya akan terjadi di sana" bisa saja berbentuk puisi, cerita pendek, novel, artikel, essai, resensi, skrip film, drama, dan berbagai bentuk tulisan kreatif lainnya.

Kalau Anda tanyakan kepada saya pribadi apakah saya memiliki "tempat suci" semacam itu? Saya jawab, "ya". "Tempat suci" saya untuk menulis adalah "everywhere", di mana pun asalkan itu masih di bawah naungan langit. "Tempat suci" saya untuk menulis bisa di mana-mana, bisa kapan saja, dan menggunakan media apa saja yang sekiranya saya gunakan untuk menulis.

Bahkan sebagai jurnalis, saya biasa menulis di bawah tekanan dan todongan "deadline" editor yang punya daulat. Kondisi semacam itu tentu tidak menyenangkan: menulis di bawah tekanan. Akan tetapi, pengkondisian itu justru telah membuat saya "cuwek" dengan keadaan sekitar saat saya terperangkap ekstase menulis. Biar langit akan runtuh, saya tetap menulis.

Nah, bagaimana dengan Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun