Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tokyo 1: Mengajar Menulis di Tokyo Sambil Bedah Buku Junanto

6 Oktober 2012   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:10 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349518668637039510

[caption id="attachment_216607" align="alignright" width="425" caption="Junanto Herdiawan"][/caption] Tokyo. Saya datang untuk kali kedua di kota besar ini. Tahun 2002 saya menginjakkan kaki di Narita saat manusia-manusia Tokyo sibuk dengan dirinya sendiri, sebelum melanjutkan perjalanan ke Fukuoka dengan pesawat domestik. Lebih sepuluh tahun lalu, saya menikmati air panas alami di bumi Oita. Kini, saya kembali ke Tokyo. Bukan untuk liputan berita, melainkan untuk mengajar menulis sekaligus bedah buku "Shocking Japan" karya rekan saya, aktivis tulen Kompasiana, Junanto Herdiawan. Meskipun tugas yang diberikan kepada saya mengenai "Blogging Kompasiana", saya tidak menyia-nyiakan waktu saya di luar negeri untuk menunjukkan betapa hebatnya sebuah Kompasiana, sebuah situs berjamaah menulis yang saya urus dan dirikan sejak 2008 lalu. Setidak-tidaknya, dari Kompasiana terlahir puluhan buku, termasuk buku best seller karya Wisnu Nugroho pentalogi "SBY dan Istananya". Sekarang, buku yang sebagian besar kontennya berasal dari Kompasiana, terlahir dan dibedah  bersama penulisnya sendiri: Junanto. Tentu saja saya membaca hampir sebagian besar postingan Junanto mengenai Jepang dan sekitarnya, negara dimana dia ditugaskan oleh institusinya, Bank Indonesia. Bagi saya, Junanto satu dari sekian banyak orang-orang BI yang pintar dengan "branding" kuat: penulis. Saya paham, Junanto menulis dengan passion tingkat tinggi, sehingga peristiwa apapun menjadi sebuah tulisan menarik. Saya iri dengan kemampuan menulisnya, juga gaya bertuturnya yang menurut saya genuine. Saya misalnya, terkesan dengan tulisan bagaimana dia harus belajar membuang sampah di Jepang dan ketika sampah di rumahnya tidak terangkut petugas, dia dan keluarganya diberi penyuluhan oleh pejabat tingkat kecamatan bagaimana memilah-milah sampah yang baik dan benar agar bisa terangkut petugas. Itu salah satu postingan di "Shocking Japan". Betapa pedulinya pejabat "rendahan" jepang terhadap warga asing yang terkena "kejutan budaya" seperti Junanto ini. Belum lagi soal betapa perempuan Tokyo itu jarang mendapat rayuan gombal dengan kata-kata lebay kaum pria, sehingga mereka terkesan "haus akan rayuan". Sayang, saya tidak cukup waktu tinggal di Tokyo, padahal saya punya cadangan kata-kata rayuan berisi untuk gadis-gadis Tokyo, bukan semata rayuan gombal. Kedatangan saya bersama Salman Faridi dan Ikhdah Henny saat berlangsungnya bulan puasa 10 Agustus 2012 lalu, disambut langsung oleh Junanto selaku tuan rumah dalam pengertian sesungguhnya. Salman adalah CEO Bentang yang menerbitkan buku Junanto lewat anak perusahaannya B-First, sedangkan Ikhdah adalah editor buku itu. Tak lama kemudian Sophie Mou yang datang dari China bergabung. Sophie juga editor buku ini bersama Ikhdah. Kami berempat adalah pembicara yang bakal tampil di depan warga Indonesia di Tokyo itu, sedangkan saya mendapat kehormatan menumpang mobil Alphard terbaru dengan sopir khusus: Junanto sendiri, calon Gubernur BI mendatang! Alangkah nyamannya mobil ini, yang di Jakarta harganya bisa di atas Rp 1 miliar, di mana hanya menteri, pengusaha dan koruptor saja yang punya mobil semacam ini di Jakarta.  Sedangkan di Jepang, menurut Junanto, harganya tidak lebih dari Rp 400 juta, dan itu merupakan mobil dinas pejabat BI yang nilainya "biasa-biasa" saja untuk ukuran Jepang. "Andai bisa saya lipat, saya mau bawa Alphard ini ke Jakarta," kelakar Junanto di balik kemudi. Saya tertawa, tetapi dalam hati berkata, "Nyopir dulu yang baik di sini ya, Mas Jun, sebelum Anda jadi Gubernur BI kelak!" Kami menginap di rumah dinas Mas Jun, demikian saya memanggil Junanto, rumah dinas milik BI yang nyaman di kawasan elitis Meguro, berada tepat di pusaran keramaian Tokyo. Saya ditempatkan di kamar depan dan bakal merasakan buka puasa di negeri orang. Saya diterima dengan ramah dan tangan terbuka oleh istri Junanto, juga putera-puterinya yang masing-masing baru duduk di kelas satu sekolah menengah pertama dan kelas lima sekolah dasar. Tentu saja kami makan sahur bersama-sama, sebuah kekeluargaan yang tak ternilai harganya, yang tetap dimiliki orang-orang Indonesia seperti Junanto dan istri, yang bertugas di negeri orang. Kami berempat, para pembicara di acara bedah buku dan blogging Kompasiana itu, sama-sama ditampung di rumah dinas Junanto Herdiawan. Kami harus menanti esok hari saat acara yang dinanti-nanti dan disponsori Dompet Dhuafa itu berlangsung. Junanto adalah "pengantin" dalam acara itu, sementara saya, Salman, Sophie, dan tiga Kompasianer di Jepang, bertindak selaku tamu yang mendapat kehormatan. (Bersambung) *** Catatan: postingan ini bisa dibaca juga di http://pepih.com.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun