Andy Owen datang menghampiri. Masih berlaku sebagai master of ceremony dan belum menenteng-nenteng gitar elektriknya. Lalu meluncur pertanyaan paling dasar dengan maksud memancing Balawan untuk membuka diri lebih lebar; apa yang kini tengah dilakukan Balawan sebagai gitaris kelas dunia. Balawan pun spontan menjawab, “Kesibukan saya jalan-jalan. Juga bikin rekaman, sudah tujuh album yang saya hasilkan.”. Setelah selintas bercerita tentang dua komposisi yang baru saja dimainkannya, Balawan mengungkapkan tentang betapa sulitnya memainkan gitar dua leher yang justru menjadi trade mark-nya itu. “Sampai sekarang pun saya masih belajar,” akunya. Kepada penonton Extra Ordinary Guitar in Concert yang memenuhi Gedung Titan, Bintaro, Sabtu (30/6/2012) lalu, Balawan bercerita mengenai gitar barunya yang baru selesai dua hari sebelumnya, sebuah gitar customize yang menurutnya dipesan dari perajin gitar di Surabaya. Balawan berterus-terang (mungkin biar terang terus), juga bisa memainkan hanya satu leher gitar dari dua leher gitar itu, tetapi khalayak kadung tahu Balawan adalah identik dengan gitar berleher ganda. Bedanya, gitar dua leher itu mampu menghasilkan 8 nada sekaligus secara beruntun dalam satu tarikan nafas, yang tidak mungkin terjadi pada gitar konvensional satu leher sebagaimana galibnya gitar. “Jadi seperti harpa,” katanya sambil mengelus-elus leher gitar saat bercerita tentang "senjata" andalannya itu. Balawan masih memainkan tiga komposisi lainnya, dimana salah satunya adalah "Brazilian Rumba", sebelum Andy Owen sebagai MC kemudian menyilakan penonton bertanya langsung kepada jagoan gitar ini. MC memberi kesempatan kepada tiga penanya, termasuk kepada saya yang hadir sebagai pribadi tetapi tidak lepas dari pekerjaan saya sebagai jurnalis. Agar suasana interaktif Balawan dengan penonton itu terekam di sini, baiknya dimunculkan lagi “rekaman” percakapan itu yang saya ingat-ingat dengan baik: Penanya 1: Mas Balawan, sejak umur berapa Anda belajar gitar? Balawan: Saya belajar gitar sejak umur delapan tahun. Penanya 1: Jenis musik apa yang dimainkan saat awal-awal kenal gitar? Balawan: Basic saya ‘heavy metal’, dulu saya mainkan Eddie Van Hallen, tetapi Iwan Fals saya mainkan juga. Penanya 1: Bagaimana cara Anda belajar gitar, apakah mengikuti kursus? Balawan: Saya mula-mula belajar otodidak,di kemudian hari lebih belajar kepada penonton. Di Australia saya belajar jazz yang menjadi dasar permainan saya sampai sekarang. Penanya 1: Bagaimana metode belajar gitar yang baik seperti Anda lakukan? Balawan: Dulu untuk bias belajar gitar saya harus jadi kacung lebih dahulu, angkat-angkat gitar milik gitaris biar sekalian curi-curi ilmu. Penanya 2: Modal utama gitaris adalah jari-jemari, apakah jari-jari Anda asuransikan? Balawan: Nggak, jari-jemari saya nggak saya asuransikan. Saya dengar Tohpati sudah mengasuransikan jari-jarinya. Saya nggak. Tapi, saya tidak boleh angkat-angkat berat. Jari-jemari saya harus ringan bergerak. Makanya jangan pernah undang saya kalau pindahan rumah! Penonton tertawa mendengar “stand up comedy” spontan Balawan ini. Kini mik diberikan kepada saya, dimana saya perkenalkan diri sebagai penonton saja, meski saya kemudian menulis untuk Kompas.com. Saya bertindak sebagai penanya ketiga: Penanya 3: Anda main gitar solo di sini, mengapa tidak bersama Batuan Ethnic Fusion sebagaimana biasa Anda tampil? Balawan: Di Indonesia saya tidak pernah main solo, baru kali ini, di sini ini saya bermain solo, soalnya kalau main solo di Indonesia, biasanya penonton ngobrol. Saya tetap bersama Batuan Ethnic Fusion, saya tidak pisah dengan mereka. Batuan Ethnic Fusion masih bersama saya. Penanya 3: Apakah Anda bisa hidup dari gitar dan apakah gitar bisa menghidupi Anda? Balawan: O ya tentu, setiap sentuhan dan ketukan jari-jemari saya pada dawai gitar adalah susu buat anak saya! Penanya 3: Apa pesan Anda kepada gitaris-gitaris muda atau calon gitaris? Balawan: Main gitar adalah pilihan. Kalau mau unik, ya mainlah secara unik. Kalau mau jago, main jugalah secara jago. Jangan nggak unik, nggak jago pula. Jago-jago, unik-unik. Jangan setengah-setengah! Demikianlah “rekaman” percakapan yang mengendalkan daya ingat saya, sambil menikmati sambil mengingat-ingat. Tidak sama persis, tetapi demikianlah tanta-jawab interaktif antara penonton dan Balawan, yang memberi “sensasi” sendiri kepada penonton. Ternyata, gitaris besar yang namanya sudah berkibar-kibar di jagat gitar itu adalah manusia biasa, manusia yang bisa disentuh, manusia yang bisa disapa dan menjawab pertanyaan. Malam itu Balawan bukanlah musisi yang kalau sudah merasa punya nama besar seperti berdiri di atas menara gading, susah terjangkau sapaan penonton sekalipun. Pada malam itu Balawan yang sepanjang permainannya dilakukan sambil tegak berdiri, mengakhiri penampilan solonya dengan komposisi “Nuansa Bening” dari Keenan Nasution, yang dilantunkan ulang oleh penyanyi muda Vidi Aldiano tiga tahun silam. Kepada penonton konser Balawan berjanji akan tampil kembali, beradu gitar bersama Jubing Kristianto dan bahkan sang MC, Andy Owen di penghujung acara. Sambil pamit, Balawan memanggil gitaris klasik Jubing Kristianto untuk naik ke atas pentas menggantikan dirinya yang kemudian lenyap di balik panggung. (Bersambung) Tulisan sebelumnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H