Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Legawa Menerima Kritik

10 Januari 2012   07:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:05 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Banyak di antara kita, para penulis, yang belum siap menerima kritikan, entah itu yang datangnya dari teman sendiri atau orang yang memang disebut “kritikus” dalam berbagai level. Sebagian besar penulis biasanya hanya siap menerima pujian. Pujian yang mampu melambungkan sukmanya ke langit ketujuh, tetapi sekaligus juga sering melenakannya.

Di media yang lebih modern dan interaktif, internet, ada penulis yang alergi terhadap kritikan dalam bentuk komentar. Sebagian waktunya terkuras hanya untuk menghapus komentar-komentar atas tulisannya yang bernada kritik. Alhasil, hanya komentar puja-puji saja yang tampil. Ini tentu kurang sehat.

Bagaimana cara menghadapi para pengeritik hasil karya kita yang kurang mengenakan dan terasa menjengkelkan?

Saya kira, proporsional sajalah. Tidak terlalu mencela balik pengeritik, seakan-akan para pengeritik itu bisanya mencela dan menghina karya. Tapi juga jangan menghapus kritikannya, sebab tentulah mereka berniat baik dengan meluangkan waktu untuk memberi penilaian. Sama proporsionalnya kalau kita, sebagai penulis, menerima pujian. Kita berterima kasih atas pujian, tetapi juga harus memelihara kritikan. Dalam pujian sering tidak ada masukan apa-apa. Berbeda dengan kritikan, pasti ada pandangan berbeda yang memperkaya bobot penulisan.

Satu kata kunci dimana kita tidak boleh terlena terhadap pujian dan marah kepada kritikan, adalah dengan melihat reaksi pembaca saja. Kalau pembaca bisa mencerna dan menikmati tulisan kita, berarti tulisan kita dianggap mencerahkan dan karenanya bermanfaat. Maka cukup bagi kita menilai bahwa tulisan kita berhasil.

WS Rendra kurang peduli terhadap pengeritiknya, tetapi ia lebih menakar rasa dan emosi penikmat sajak-sajaknya. Baginya, pembaca/penonton adalah “kritikus” paling jujur. Novelis Ahmad Tohari pernah marah besar di Horison, kalau saya tidak salah baca, hanya karena proses biologi saat menjelaskan “prilaku” satu jenis tanaman dalam Ronggeng Dukuh Paruk, dikuliti seorang pengeritik secara tidak proporsional.

Mana yang harus kita pegang saat menerima kritik sekaligus juga menerima pujian? Ya itu tadi, proporsional sajalah.

Sebelum menutup paparan singkat ini, baiknya simak pendapat novelis Titis Basino PI. “Jangan terlalu mengagungkan publik,” katanya, “Sebab pengarang akan kecewa saat pembaca itu mencela tulisannya.” Sebaliknya jangan terlalu berharap pujian dari pembaca, yang semakin ditunggu, katanya, hanya akan menghasilkan suara kelinci yang hanya menguik kecil.

Tetapi saya punya cara sendiri untuk meredam kritik pedas kritikus dan mengendalikan pujian selangit pembaca: terus menulis dan menulis terus. Itu saja.

Bintaro, 10 Januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun