Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Hybrid Journalism", Ketika Tulisan Warga Bersanding dengan Pewarta

28 Januari 2011   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:07 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12959420181931416119

[caption id="attachment_87191" align="aligncenter" width="640" caption="Tulisan Kompasianer yang ditayangkan di Kompas.com"][/caption] Beberapa hari lalu kita membaca berita Domodedovo, Tempat yang Akrab bagi WNI di Kompas.com. Jika Anda cermati, berita atau tulisan tersebut merupakan hasil tayang-ulang dari social media Kompasiana dengan judul Ketika Bom Meledak di Airport Domodedovo Rusia. Dua tulisan yang ditayangkan di dua situs berbeda itu ditulis oleh seorang Kompasianer, Syaripudin Zuhri. Sebelumnya tulisan Kompasianer  lainnya Kimi Raikko berjudul Perempuan Lebih Dominan di Internet, yang ditayangkan di Kompas.com juga berasal dari penulis yang sama di Kompasiana. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa tulisan warga biasa yang bukan jurnalis profesional bisa menembus media online mainstream dalam hal ini Kompas.com? Apa maknanya buat kita penulis atau pewarta warga? Paling tidak ada lima  hal yang mungkin bisa menjawab "how" dan "why" atas pertanyaan-pertanyaan di atas, yakni:

  • Terobosan
  • Pengakuan
  • Pembuktian
  • Keterbacaan
  • Kebanggaan

Mari kita lihat satu persatu! Terobosan. Tulisan warga biasa bisa tampil di media mainstream yang seluruh konten biasanya diisi oleh wartawan profesional? Jelas sebuah terbososan.  Terobosan (breaktrough) biasa dilakukan untuk pertama kalinya. Siapapun yang melakukan pertama kalinya dan dia berhasil, maka akan menjadi pelopor, Ketika Anda berhasil melakukannya lantas orang lain mengikuti apa yang Anda buat, maka orang lain itu bukan lagi pelopor, tetapi pengekor. Dalam dunia online, dalam dunia internet, inovasi adalah kunci utama. Benchmarking tidak diharamkan, asalkan apa yang kita tiru menjadi lebih baik. Pengakuan. Ini memang subyektif karena sebatas preferensi editor, tetapi setidak-tidaknya tulisan warga biasa yang ditampilkan kembali di media mainstream sudah layak dibaca banyak orang. Pengakuan yang sejujurnya justru diharapkan datang dari pembaca, bukan editor di Newsroom yang menampilkan tulisan warga tersebut. Ketika pembaca media mainstream "tidak mempersoalkan" tulisan warga dan bahkan berterima kasih atas tulisan itu karena mendapat sisi lain dari berita/tulisan warga tersebut, itulah pengakuan yang dimaksu. Pembuktian. Ini semata-mata kebanggaan dari pihak penulis warga itu sendiri, bahwa berita/tulisan yang ditulisnya telah diakui sejajar dengan berita/tulisan yang ditulis wartawan profesional. Pembuktian, bahwa pengetahuan dan keterampilan warga biasa dalam menulis tidak kalah hebat dibanding jurnalis profesional. Keterbacaan. Readership penting bukan hanya bagi media tetapi bagi penulisnya itu sendiri. Pembaca Kompasiana yang baru ada sejak lebih dua tahun lalu (2,3 - 3 juta perbulan) tidaklah sebanyak Kompas.com yang setiap bulannya dibaca oleh 20 jutaan orang. Ketika satu tulisan warga dari Kompasiana ditayangkan ulang di Kompasiana, tentu saja tingkat keterbacaannya akan semakin tinggi. Kasarnya, kemungkinan tulisan itu dibaca banyak orang juga menjadi semakin tinggi. Kebanggaan. Pride atau kebanggan sangat penting dalam menulis. Ini tidak bisa dipungkiri. Tulisan yang banyak dibaca dan banyak dikomentari secara positif menandakan tulisan itu bermanfaat. Memang sangat mudah menulis untuk tujuan menangguk pembaca dan komentar sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, akan tidak ada kebangaan apa-apa bagi penulisnya kalau yang membaca tulisan itu karena "tertipu" judul bombastis, ngeseks dan mempermainkan SARA, serta semua komentar yang ada hanyalah komentar negatif atau bahkan cibiran sinis. Kebangaan di sini tentu saja bukan kebanggaansemu, lebih karena tulisan itu sangat bermanfaat buat orang banyak. Itu sebabnya, saya selaku admin Kompasiana ingin memperluas keterbacaan setiap postingan Kompasianer dengan menampilkannya di Kompas.com. Bukan hanya rubrik teknologi semata, tetapi kelak menyasar ke rubrik-rubrik lain seperti otomotif, kesehatan, gaya hidup, hiburan, sport, ekonomi, politik, dan seterusnya. Kami tinggal memberi penanda untuk membedakan dengan tulisan jurnalis profesional dan memoles tampilan Kompas.com untuk kepentingan itu. Verifikasi member Kompasiana yang baru-baru ini diberlakukan salah-satunya dimaksudkan untuk meningkatkan keterbacaan Kompasianer. Bagaimanapun, hanya tulisan yang ditulis oleh Kompasianer yang faktual alias definitif (bukan Kompasianer fiktif) sajalah yang akan ditampilkan di Kompas.com. Apa yang saya dorong dan kami lakukan di dapur Kompasiana ini semata-mata kreativitas yang mungkin belum diterapkan media mainstream lainnya. Menjadi pelopor meski cuma satu kali itu jauh lebih penting daripada seribu kali menjadi pengekor.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun