Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penjelasan untuk Agnes Davonar tentang "Tjong A Fie"

28 Mei 2010   00:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 2704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_151879" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock.com)"][/caption] Saya sangat menghargai penjelasanmu, Agnes Davonar, lewat postingan klarifikasi. Semoga penjelasan ini memuaskan para penggemarmu yang fanatik dan tersebar di seluruh pelosok dunia maya. Saya ingin menjelaskan, saya selaku admin tidak dalam posisi meminta klarifikasi sebelum sebuah tulisan ditayangkan. Ini media interaktif, sehingga klarifikasi, sanggahan atau bantahan bisa langsung dijawab. Hak jawab tidak pernah dilarang, terbuka kapan saja kamu mau, bahkan sedetik setelah postingan saya ditayangkan di Kompasiana ini. Saya akui, tulisanmu tentang Tjong A Fie di Kompasiana (bagian 1 dan 2) memang memukau, sehingga saya pilih sebagai tulisan untuk Klasika Kompas Medan yang saya pecah menjadi empat kali pemuatan (setiap hari Rabu selama sebulan). Anggaplah itu sebagai penghargaan admin Kompasiana yang juga berupaya memilah-milah tulisan yang baik dan mencari para penulis berbakat di Kompasiana (saya bekerja diam-diam dan tak harus gembar-gembor) dengan maksud untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku di penerbitan kelompok Kompas-Gramedia. Beberapa penulis berbakat dan hebat sudah ada di tangan saya, tinggal saya bagi-bagi tugas editor untuk mendorong tulisan-tulisan bermutu itu ke penerbit menjadi sebuah buku. Sejujurnya, namamu, Agnes Davonar, juga sudah ada di tangan saya. Maka saya tidak ragu memuat tulisanmu di Kompasiana itu di Kompas Print di Klasika Kompas Medan. Harap kamu, kita semua para Kompasiener ketahui, sudah sejak tiga bulan lalu Kompasiana bekerja sama dengan Klasika Kompas MAKASSAR, PALEMBANG, dan MEDAN. Setiap hari Rabu, di tiga Klasika daerah tersebut termuat tulisan-tulisan (umumnya mengenai daerah masing-masing) yang berasal dari Kompasiana. Ini proyek ujicoba, karena saya benar-benar ingin mempraktikkan apa yang disebut konvergensi konten. Umum terjadi, konten print menjadi konten online. Itu sudah biasa. Saya membalik asumsi ini, konten online (Kompasiana) pun, bisa juga menjadi konten print. Why not? Ujicoba ini sudah saya praktikkan sebelumnya dengan Tribun Kaltim, dimana sejumlah tulisan Kompasianer yang dianggap baik dan asli (bukan copas atau jiplak) dimuat di media print. Dari konten online di Kompasiana pula, saya telah menerbitkan beberapa buku. Saya curahkan waktu sebagai editor untuk mendorong para Kompasianer, sehingga saya agak abai kepentingan diri saya sendiri menulis buku sendiri! Di tangan saya saat ini ada "Tetralogi SBY" dan satu buku tentang "JK Meninggalkan Istana" (seluruhnya 5 buku) karya Kompasianer Wisnu Nugroho, dan sudah ada di penerbit (Penerbit Buku Kompas). Juga ada beberapa buku lain dari penulis Kompasiana yang saya tangani. Di sisi lain, saya juga memberi keleluasaan kepada penulis selain menulis, juga menjadi editor buku. Itu sudah dibuktikan oleh saudara Andy Syoekri Amal (ASA) yang menjadi editor buku Mariska Lubis. Bukunya sudah diterbitkan Grassindo dan sudah beredar di toko-toko buku, dan saya dengan senang hati memberi kata pengantar pada buku tersebut. Saya juga berencana menerbitkan FREEZ, sebuah majalah free Kompasiana yang sampai saat ini masih nyangkut di kreatif. Semua adalah usaha, semua adalah ujicoba. Untuk itulah, maka saya pribadi selaku admin termasuk ketat dalam urusan plagiarisme dan copy paste di Kompasiana. Mengapa? Karena konten untuk penerbitan print (buku, majalah, surat kabar), mensyaratkan karya asli para Kompasianer. Dari konten penerbitan Klasika Kompas di tiga daerah tersebut, sudah tergambar dalam benak saya, untuk menjadikan semua tulisan itu dalam tiga buah buku travellog, yang bakal diterbitkan setiap tahun! Bayangkan sumbangsih para Kompasianer bagi dunia ilmu pengetahuan... sangat besar! Kelak bakal ada buku yang ringan dan enak dibaca mengenai daerah MEDAN, PALEMBANG dan MAKASSAR! Bukankah ini akan bermanfaat bagi tiga daerah tersebut? Kerjasama pasti terbuka dengan pemerintah daerah setempat. Ini masih dalam bayangan, tetapi lewat kemauan dan ide, saya bisa mewujudkannya, asalkan dibantu dengan kejujuran para Kompasianer melalui karya-karya genuine. Terhadap laporan Kepala Biro Kompas Medan Sdr Andreas Maryoto (MAR) yang menganggap tulisanmu sebagai hasil jiplakan dari buku lain, tidak terlalu keliru. Saya tidak dalam posisi membela kolega, karena memang di postinganmu tentang Tjong A Fie tidak disebutkan buku itu karya resensi atau dicupilk dari sumber lain. Juga tidak ada referensi yang menyebutkan bahwa tulisan dua bagian di Kompasiana itu bersumber dari buku lain. Bukan maksud membela kolega, Sdr MAR, kalau dua tulisanmu itu menjadi pertanyaan. Karena bagian pertama dua tulisanmu sudah dicetak di Klasika Kompas Medan, maka persoalan menjadi serius karena menyangkut KREDIBILITAS. Kredibilitas memerlukan kejujuran. Andai saja pada dua tulisanmu di Kompasiana itu terdapat keterangan sumber buku, atau tulisan diposisikan sebagai resensi, maka keraguan itu tidak akan terjadi. Saya anggap tulisanmu bukan resensi, karena resensi adalah "timbangan" atau opini penulis terhadap sebuah buku setelah membaca buku tersebut, tidak pada tempatnya resensi bergaya tutur sebaimana tertulis dalam sumber buku aslinya. Saya selaku editor yang bertanggung jawab memuat tulisan itu untuk Klasika Kompas Medan, juga tidak akan ragu mencantumkan sumber itu, karena itu merupakan sebuah pertanggungjawaban "ilmiah" dan lebih lagi pertanggungjawaban "moral". Saya tidak menemukan keterangan apa-apa dalam dua tulisanmu di Kompasiana, sehingga saya berpikiran baik bahwa itu adalah karya genuine-mu yang memukau, dengan gaya tutur yang mengingatkan saya pada Myra Sidharta saat menulis MAW Brouwer. Admin bukanlah superman, yang biasa mengawasi setiap tulisan yang masuk Kompasiana asli atau karya jiplakan setiap saat, setiap tulisan itu dipostingkan. Yang kita perlukan di sini adalah kejujuran dan keterusterangan. Dua hal ini akan menyelamatkan kredibilitas siapapun sebagai penulis umumnya, dan sebagai Kompasianer khususnya. Perlu ditegaskan di sini, saya selaku admin Kompasiana yang coba memilah dan menilai setiap hari tulisan-tulisan yang masuk, berusaha mengangkat moral dan semangat para Kompasianer dengan cara menerbitkannya di Kompas print. Tidak lain untuk menciptakan kebanggaan bagi penulis itu sendiri, kendati setiap tulisan tidak diberi imbalan. Namun demikian saya sudah bicara dengan bisnis Kompas (iklan) bahwa setiap tulisan yang dimuat di Klasika hendaknya diberi "kenang-kenangan" berupa kaos, flash disc, atau apapun, dan nama-nama penulis yang tulisannya sudah dimuat di Klasika Kompas di tiga daerah, sudah saya catat dan file. Bagi saya, tidak jadi masalah kalau ada keberatan Kompasianer yang tulisannya tidak mau diterbitkan di Klasika Kompas (print), tinggal menghubungi saya saja. Saya hanya ingin mewujudkan sebuah proyek intelektual, katakanlah itu "intellectual exercise" bagi para Kompasianer, yang ingin meningkatkan atau memperluas keterbacaan (readership) karya tulisnya yang tidak sekedar di dunia maya (Kompasiana), tetapi juga di dunia nyata (buku, majalah, atau suratkabar). Berbeda kalau diterbitkan menjadi sebuah buku, maka copy right ada pada penulis masing-masing. Anggap saja apa yang termuat di Klasika Kompas itu sebagai promosi gratis karya-karya tulis Kompasianer! Ini memang sekedar mimpi saya saja. Tetapi kerap saya mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan tidak lain dari mimpi itu sendiri. Termasuk mimpi yang satu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun