Sepuluh tahun terakhir, kita mendapati adanya kemesraan antara legislatif dan eksekutif. Hal ini tidak terlepas dari figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang bak seorang penari balet, begitu luwes menyeimbangkan bandul antara keduanya agar selalu berada pada jarak yang seimbang. Padahal, tentu tidak mudah, apalagi di tubuh eksekutif sendiri tidak terlalu kompak. Masih ada partai-partai yang tidak serta merta ikut kebijakan SBY. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya acapkali berseberangan dengan SBY meski kadernya duduk sebagai Menteri di kabinet SBY. Dalam kebijakan menaikan BBM PKS tidak mendukung SBY.
Posisi SBY di Kabinet yang cukup kuat memungkinkan kerjasama yang cukup baik dengan DPR. Lalu bagaimana dengan Pemerintahan Jokowi kedepan. Sekarang ini bisa lihat betapa kekuatan itu cukup seimbang. Tidak ada yang mendominasi, alias sama kuat. Jokowi menguasai kursi Kepresidenan dan Prabowo dengan Koalisi Merah Putih-nya berada di Parlemen.
Koalisi Merah Putih menyebut dirinya sebagai kekuatan penyeimbang. Sistem konstitusi di Indonesia yang menganut Presidensil memang tidak mengenal adanya oposisi. Dalam kebanyakan pandangan mayoritas di Indonesia oposisi masih dikonotasikan negatif, sebagai penghambat. Padahal tidak selalu begitu, tak selalu sebagai penghambat. Tak selalu mempersulit program pemerintah. Betapa pun Presiden adalah manusia, manusia itu suka salah dan ada kecenderungan menyimpang. Power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely, karena itu dibutuhkan adanya penyeimbang.
Dulu di masa Orba kita mengenal istilah DPR hanya sebagai stempel pemerintah, karena itu di masa reformasi hal ini tidak boleh terulang. Parlemen harus kuat, harus sejajar dengan pemerintah. Parlemen berfungsi mengkritisi kebijakan pemerintah melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimilikinya. Jadi posisi ini sudah ideal, sebagai sebuah system trias politika.
Berulangkali Jubir Koalisi Merah Putih (KMP) Tantowi Yahya dalam berbagai kesempatan menyatakan, bahwa KMP bertekad menjadi oposisi yang konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen. Sejawatnya lain partai tapi masih di Koalisi Merah Putih pun melagukan koor yang sama. Tapi, herannya tetap publik masih nyinyir dan memandang Koalisi Merah Putih sebagai –meminjam istilah Tantowi- ‘oposisi destruktif’. Padahal sejarah rasanya belum lama berlalu, ketika masa otoriter Suharto menjadikan DPR sebagai stempel. Apa masih ingin mengulang sejarah itu?
Buktinya, hasil jajak pendapat Lingkarang Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini memprediksi, Jokowi bisa menjadi presiden yang tak berdaya lantaran kurangnya dukungan DPR atas kebijakan yang dibuatnya sebab koalisi pendukungnya kalah kursi dari Koalisi Merah Putih. Hasil survey LSI itu seakan ingin menguatkan anggapan bahwa oposisi itu buruk.
Padahal, ruh atau spirit reformasi adalah menguatnya civil society. Terwujudnya masyarakat madani itu tercermin dari kedigdayaan aktivitas wakil-wakilnya di Parlemen. Mengapa belum bekerja dan bahkan belum dilantik saja, sudah ada survei semacam ini. Apa buktinya bahwa KMP hanya akan menjegal, wong Jokowi dilantik saja belum. Bahkan DPR hasil pemilu lageislatif 2014, juga belum dilantik.
Agaknya perang persepsi inilah yang sekarang terjadi. Serangan yang berangkat dari rasa curiga. Padahal seperti kita ketahui, Pemilu Pilpres kemarin terjadi seakan-akan Indonesia terbelah dua. Bukankah hasil ini sangat bagus, karena rakyat tetap terwakili di Parlemen, apalagi Jokowi sering mengklaim, ingin berkoalisi dengan rakyat.
Tempatnya wakil rakyat itu sejatinya ada di Parlemen. Parlemen lah yang seharusnya menjadi tempat mengadu ketika rakyat dizalimi. Jadi tak salah juga kalau DPR memberi teguran. Di Indonesia ini memang tidak ada mekanisme mosi tidak percay, namun ada celah hukum yang bisa dimasuki. Dan konsekuensi hukumnya berdampak sama dengan mosi tidak percaya. Celah itu adalah melalui penggunaan hak-hak DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam UU tersebut, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Jadi secara praktik, kelompok Oposisi dapat melanjutkan proses hukumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Mekanisme untuk itu sudah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Bila DPR menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti diatur dalam Pasal 77 ayat (4) UU 27/2009 huruf c, maka perkara itu akan dibawa ke MK. Setelah MK mengeluarkan putusan, putusan itu akan diserahkan lagi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan eksekusi. MPR dimungkinkan untuk melakukan eksekusi yang berbeda dengan putusan MK.
Sayangnya, dengan alas an membela kepentingan pribadi dan golongan, elit politik seringkali memberi pendidikan politik yang salah. Parahnya lagi, membohongi rakyat demi kepentingannya entah dengan survey atau menyewa pengamat bayaran. Padahal jangan lupa, kita baru saja keluar dari rezin Orba yang otoriter. Apalagi PDIP, partai yang paling (merasa) dizalimi. Haruskah mengulang kesalahan yang sama.