Mohon tunggu...
Irwandi
Irwandi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ( sekedar hobi )

Suami dari seorang istri dan ayah dari dua orang anak perempuan yang kebetulan hobi menulis tentang hidup dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Valentinsiana] Sebuah Lagu Bermuara Rindu

14 Februari 2014   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah Lagu Bermuara Rindu

Oleh: Buruh Tinta - Ran Azlaff  No: 06

[Pernahkah kau terdiam terlalu lama, lalu berucap hanya sepatah kata?... Ah! rindu, dia selalu inginkan waktu cepat berlalu untuk bertemu.]

“Tentang orang yang istimewa?”

Ah, lagi-lagi aku tambah gusar dengan pertanyaan itu. Jujur saja, belum ada orang istimewa yang menempati ruang khusus di hatiku selain keluarga dan para sahabat. Lebih tepatnya, aku belum menemukan cinta yang sesungguhnya. Semua lelaki yang dekat denganku berasa sama. Hanya sebatas teman.

***

Hingga akhirna kutemukan lelaki bermata coklat itu….

Padahal iya biasa-biasa saja, tidak terlalu tampan, bukan pula konglomerat. Namun entah mengapa aku dengan mudah menerima permintaaannya untuk menjadi kekasih hatiku. Tapi bukan berarti sangat tidak mungkin untuk dijelaskan.

Di suatu malam yang tidak begitu dingin, saat hanya ada beberapa denyar bintang yang bisa kami nikmati keindahannya, kami diselimuti suasana bungkam yang teramat lama di taman tempat kami bertemu.

“Kenapa kamu diam saja dari tadi?”

Suara baritonnya memecah kefakuman yang terlanjur tercipta.

“ Ingin saja,”

Jawabku . Dan memang itulah satu-satunya jawaban yang ada dalam pikiran yang bisa kulontarkan.

“Kalau cuma ingin berdiam-diam begini, untuk apa kamu memaksa bertemu?”

Gelengan heran Adan dan matanya yang tampak lesu membuatku merasa bersalah. Seharusnya malam ini dia istirahat. Mengembalikan stamina untuk kembali menjalani rutinitas sebagai sopir taxi esok hari.

“Tapi…”

Meski merasa bersalah, ada kecamuk dalam dada. Ada kesal yang makin hari kian melangit. Tidakkah dia merasa bahwa aku merindukannya? Akh, masa aku harus bilang bahwa aku rindu agar dia mau meluangkan waktu untuk sekedar bertemu?

“Kalau kamu ingin curhat, telfon saja aku.”

Dia beranjak dari duduknya.

“Ayo kita pulang saja!.”

Aku mendengus kesal.

Adaaan, tolong pahami aku. Jangan membuatku semakin bingung.

***

Hari ini ada jadwal kuliah gak? Satu pesan mendarat. Dari Adan. Sikap Adan malam itu diam-diam membutku kesal. Kuacuhakan smsnya.

Kamu baik-baik saja, kan? Satu sms dari orang yang sama kembali menderingkan handpone-ku. Aku memang berniat untuk membiarkan smsnya tanpa balasan. Tapi, lagi-lagi, uggghh! Selalu saja ada dorongan kuat untuk tidak mengacuhkannya dari sisi hatiku yang lain.

Tidak, tidak, saat ini kamu sedang kesal sama Adan. Sekali-kali acuhkan dia! Batinku mulai ribut. Kuurungkan untuk menekan tombol replay. Satu menit berlalu, kubaca lagi pesan singkatnya. Benar-benar menyiksa. Meski sering membuatku marah, tapi merindukannya seperti sudah menjadi penyakit baruku yang akut. Tapi sampai kapan? Ini bukanlah dunia dongeng yang bisa dengan mudah meminta bantuan peri untuk mewujudkan keinginan secara instan.

Aku baik-baik saja. Pesan terkirim. Ternyata rasa kesalku pada seorang Adan cepat sekali kadaluarsa. Benci sebenarnya dengan kondisi ini. Tuhan, jamahlah hatiku.

***

There’s a song that’s inside of my soul.

It’s the one that I’ve tried to write over and over again

I’m awake in the infinite cold.

But you sing to me over and over and over again.

So, I lay my head back down.

And I lift my hands and pray

To be only yours, I pray, to be only yours

I know now you’re my only hope.

Suara lembut Mandy Moore dalam membawakan lagunya, Only Hope semakin meluluhkan hatiku. Adan memutar lagu itu saat dia menyatakan perasaannya padaku dalam taxi yang biasa menemani hari-harinya. Sungguh keterlaluan! Aku tidak bisa menolaknya tanpa antisipasi. Anehnya lagi, aku bisa menghafal lagu itu dengan cepat.

Kali ini, dengan posisi yang sama, kami tidak hanya mendengarkannya. Tapi tanpa terbata-bata aku dan Adan menyanyikannya bersama-sama. Satu-satunya lagu berbahasa Inggris yang berhasil kuhafal dengan mudah. Senyum merekah lahir dari bibir kami. Sesekali ada tawa yang membahana. Kendatipun moment seperti ini jarang kulalui bersama Adan, namun hati tetaplah enggan untuk berbohong. Dialah orang istimewa yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang diajukannya tempo hari. Saat hatiku belum menjatuhkan pilihan padanya.

Dulu, Senin adalah hari yang kusuka. Tapi tidak untuk saat ini. Hari di mana aku sering merindukannya, itulah hari yang paling aku suka. Karena merindukannya adalah rutinitas perasaan yang paling berharga meski itu sangatlah menyiksa.

Adan, lelaki bermata coklatku, apa kamu juga merasakan hal yang sama?

So, I lay my head back down.

And I lift my hands and pray

To be only yours, I pray, to be only yours

I pray, to be only yours

I know now you’re my only hope.

11 Februari 2014.

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi Valentine

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun