Mohon tunggu...
Fajar Kustiawan
Fajar Kustiawan Mohon Tunggu... -

Seorang Pemerhati Sosial, Penggali Rahasia Kehidupan, Penikmat Seni, Pengempul Aksara dan Penghibur Duka yang selalu berusaha ceria agar menjadi insan yang berarti bagi makhluk lainnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarjana dan Roti Bakar

25 September 2016   19:57 Diperbarui: 25 September 2016   20:42 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah salah satu spot dalam perjalanan hidup saya. Sebuah pengalaman untuk belajar tumbuh dewasa. Menurut saya, kisah ini cukup menarik untuk dibagi.

Selepas saya tamat SMA, saya bermaksud mewujudkan impian saya yaitu menjadi seorang Sarjana. Pada waktu itu, menjadi seorang sarjana perlambang kebanggaan dalam keluarga. Kebanyakan orang berfikir, kalau sudah sarjana pastilah mudah mencari kerja, bisa menduduki kursi pimpinan dan hidupnya bakal sukses. Saya pun memiliki ambisi sebesar gajah, namun sayang tekadnya tak sekuat baja.

Perekonomian keluarga saya sedang carut marut. Bayangkan, saat itu kedua orang tua saya harus berpisah tempat tinggal. Dikarenakan ayah harus berdagang di tempat yang cukup berjauhan dari rumah. Karena kalau pulang pergi tiap hari, biaya operasional bengkak akibatnya dagang tidak dapat untung. Ayah saya merupakan pedagang roti bakar dan bandrek susu. Hanya dari situ saja penghasilannya, sementara beliau harus masih menghidupi istri, 3 anak, 1 cucu dan membayar 2 rumah kontrakkan sekaligus. Adik bungsu saya masih sekolah, disaat bersamaan saya harus bisa kuliah.

Lalu saya sampaikan keinginan tersebut kepada ayah. Ayah menggeleng, "Kuliah mau pakai uang darimana? Makan saja susah" itulah jawabannya. Jawaban yang membuat hati saya remuk, impian saya pupus, hasrat hidup pun menghilang seketika.

Disaat teman-teman seangkatan saya sibuk mempersiapkan diri untuk memilih kampus favorit mereka. Melihat itu, pedih hati saya, lebih perih luka tersiram cuka.

Sebenernya saya bisa mengerti itu, tapi disaat itu juga ada teman saya yang ayahnya cuma sekedar pedagang topi dan aksesoris di pasar. Ia bisa mengkuliahkan anaknya. Saya sangat iri--iri seiri-irinya. Karena menurut saya penghasilan dari roti bakar lebih besar dari jual topi. Jadi, mestinya orang tua saya masih bisa mengusahakan biaya kuliah saya.

Saya protes dan menyampaikan cerita tentang orang tua teman saya itu. Namun, ayah tetap tak bergeming pada keputusannya. Sepertinya dia sudah bulat lebih memikirkan perut ketimbang masa depan anak laki-lakinya. Seorang ayah yang egois, yang tidak mengerti keinginan besar anaknya. Seperti itulah ayah dibenak saya kala itu.

Akhirnya saya kubur dalam-dalam impian itu, bersama dendam dan kebencian pada ayah saya. Saya tak menghiraukan apapun, saya bebas bergaul kemanapun, pulang kerumah kapanpun sekehendak saya.

Sampai suatu ketika ayah saya sakit, dia tidak bisa berdagang seperti biasanya. Sakitnya cukup lama, sampai roti, susu, mentega dan bahan-bahan jualan jamuran busuk menyeruak seisi rumah. Dirumah yang lain, adik saya perlu uang buat sekolah. Ayah tak mampu memberikan apapun, hanya memberikan tetesan air mata. Saat itu barulah hati dan pikiran saya terketuk. Saya putuskan, saya yang akan jualan.

Dengan berjualan tentu saya dapat uang, dan ayahpun mulai sehat kembali. Namun, tidak berarti saya membiarkan ayah jualan sendirian. Saya selalu menemani ayah berjualan. Bahkan saya berinovasi roti bakar mini plus es lemon tea yang jadi daya tarik baru pelanggan kami terutama kalangan muda. Persis, uangnya untuk saya sendiri dan dikelola sendiri. Saya senang dapat uang dari jeripayah sendiri, karena sudah ada modal saya mulai berimprovisasi bisnis lain, beragam asalkan pundi-pundi uang mengalir ke kantong saya. Dan saya pun tidak tertarik lagi menjadi sarjana.

Pada saat itu, dari buku-buku yang saya baca kalau mau sukses ya bisnislah jalan terbaiknya. Saya juga jadi keranjingan membaca buku motivasi dan pengembangan diri serta aktif dalam organisasi kepemudaan keislaman. Memiliki link yang banyak, akses berbagai pengetahuan yang mudah, mendapat kesempatan mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, fikiran saya mulai terbuka, kalau sukses tidak mesti harus kuliah. Saya mulai memperbaiki diri saya, mulai memaafkan orang tua saya dan terus bertumbuh menjadi pribadi positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun