Suara hujan di malam hari mengiringi tangisan pilu akan berakhir nya perjuanganku, berada di antara mereka yang hanya berdiri menonton sebuah kompetisi yang semakin mengikis hati nurani.
Perihal kesempurnaan yang rasanya tak akan mungkin pernah kudapat, namun orang-orang seolah menutup mata mereka erat atas segala cobaan yang telah kutaklukkan.
Pipi memerah karna pukulan seseorang yang kusebut pahlawan rasanya sama sekali tidak menyakiti fisikku, tanpa kutahu luka itu menjadi lebih berdarah ketika menembus relung hatiku.
Sudah banyak darah menetes di setiap langkah perjuangan demi memenuhi sebuah perintah mutlak yang membuat batin semakin terikat seperti tak ada tempat untuk berniat.
Seolah-olah menjadi berbeda adalah aib yang harus segera di sembunyikan agar tidak sampai ke daratan para manusia penyembah kesempurnaan.
Mereka berpikir bahwa hidup ini adalah milik mereka yang sudah lama berkelana, namun mereka lupa bahwa kami anak muda membutuhkan asupan ilmu yang tidak akan di dapat jika kita tidak mengambil langkah.
Banyak perilaku manusia yang sudah ku terima, tetapi kalimat penuh perintah itu tanpa sadar menjadi sebuah anak panah yang menjatuhkanku ke dalam pusaran hidup semakin merana.
Engkau yang ku sebut pahlawan hanya diam melihatku terseret arus ketidakadilan, terombang-ambing diterpa mereka yang haus akan sebuah kesempurnaan.
Tidak pernah sekalipun engkau ku anggap sebagai sebuah batu yang menghalangi langkah perjuanganku, namun tindakan tak berbelas kasih itu membuatku tidak pernah bisa lagi memulai langkah baru.
Kau tidak akan pernah tahu, sampai selamanya pun engkau tidak akan pernah ingin tahu atas segala kekuranganku yang kau jadikan peluru untuk merobohkanku, alih-alih engkau membantu aku yang adalah anakmu.