“Aku Bangga Jadi Anak Perbatasan…” demikian tema yang diusung oleh salah seorang siswa SMP di Kayan Selatan Kabupaten Malinau, ketika menulis artikel dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Kodim Malinau, 21-22 November 2014. Pelatihan berlangsung di balai pertemuan desa, dan di sebuah danau indah yang dikelilingi oleh hutan belantara.
Awalnya mereka malu-malu. Tampak sekali rasa kurang percaya diri dari sekitar 60 siswa SMP dan SMA di kecamatan paling luar Indonesia di Kalimatan yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia. Namun, setelah mendapatkan materi dasar penulisan artikel, plus motivasi dari mentor, semangat mereka menggelegak tak tertahankan.
“Anak perbatasan juga bisa!” begitu bunyi judul artikel lainnya, yang ditulis seorang siswa SMA. Selama pelatihan, dia berulang kali bertanya tentang banyak hal. Bersama rekan-rekannya, dia juga selalu bersemangat mengikuti apapun petunjuk dari mentor.
Saya, sangat bahagia bisa berbagi dengan anak-anak SMP dan SMA di desa Long Ampung Kecamatan Kayan Selatan dan desa Long Nawang kecamatan Kayan Ulu, kabupaten Malinau. Ketika komandan Kodim Malinau Letkol Inf Agus Bhakti meminta bantuan untuk melatih anak-anak itu selama dua hari di perbatasan, saya tidak pikir panjang. Setuju. Dan apa yang saya bayangkan tentang anak-anak perbatasan yang terbelakang. Atau meminjam lagunya si Doel “Anak Betawi Ketinggalan Zaman” menjadi “Anak Perbatasan Ketinggalan Zaman” sama sekali tidak terbukti.
Anak-anak perbatasan tidak kalah gaulnya dibanding anak kota. Dalam banyak hal, mereka sama saja dengan anak-anak lain di wilayah lainnya. Mereka menentang HP dan Smartphone kemana-mana. Bahkan, dalam sejumlah hal, mereka adalah anak-anak remaja yang luar biasa. Kondisi mereka serba terbatas. Bayangkan, di desa mereka belum ada listrik. Yang ada hanyalah genset yang menyala hanya 4 jam sehari, dari jam 18.00 sampai jam 22.00. Di desa mereka tidak ada sarana lengkap, tidak ada pusat belanja, tidak ada perpustakaan besar, tidak ada transportasi publik… tidak ada. Semua serba terbatas.
Tapi… semangat mereka amat membara.
Saya hanya menyentuh mereka dengan perumpamaan Nick Vujigic, pria tanpa lengan dan tanpa kaki, yang menjelma menjadi manusia luar biasa. Padahal, apa yang dilakukan Nick sebenarnya biasa-biasa saja buat manusia normal. Nick bisa berenang, bermain bola, main golf, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan manusia normal. Menjadi luar biasa, karena Nick punya keterbatasan amat yaitu tanpa tangan dan tanpa kaki. Bagaimana seorang tanpa tangan dan tanpa kaki, mampu bermain bola, berenang, ski air, main golf bahkan terjun payung!
Anak-anak di perbatasan pun demikian. Mereka punya banyak keterbatasan hidup. Maka ketika mereka mampu melakukan apa yang dilakukan oleh mereka yang hidup berkelimpahan, bakal menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan mereka yakin, mereka bisa!
Jangan kaget jika dalam beberapa bulan ke depan, atau beberapa tahun lagi, akan lahir penulis-penulis keren dari desa perbatasan. Sekarang, mereka sedang merajut mimpi itu.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H