“Kuat nggak kalau lampu nyala, projektor juga nyala?” tanya Kasdim Malinau Mayor Czi Kristiono kepada kepala desa Metulang menjelang berlangsungnya Pelatihan Kebangsaan dan Menulis Artikel di lokasi tersebut, akhir November lalu.
“Nggak kuat pak… dayanya kurang,” jawab pak kades pelan.
“Kalau kami tambahi solarnya bagaimana?” kali ini Danramil Kayan Selatan yang bertanya.
Percakapan itu mungkin membuat Anda berkerut. Coba cermati lagi isi percakapannya. Mereka sedang berbincang tentang kekuatan daya listrik untuk menghidupkan lampu dan projektor. Tapi kemudian muncul kata solar. Listrik dan solar memang berhubungan. Namun sudah pasti tak ada hubungannya dengan PLN, karena warga tidak perlu memikirkan solar, jika listrik sudah disuplai oleh PLN.
Ternyata di desa Metulang, desa Long Ampung dan desa-desa sekitarnya, listrik PLN belum ada. Tiang-tiang listrik sudah tersedia di sekitar desa, lengkap dengan lampu-lampu dan peralatan listrik serta elektronik di setiap rumah warga. Namun sumber listrik di kawasan perbatasan Kalimantan Utara dengan Malaysia ini, bukan dari PLN. Sepanjang jalan tanah dengan batu-batu di kecamatan Kayan Selatan dan Kayan Hulu, tidak ada tiang listrik. Tiang-tiang itu baru terlihat di sekitar rumah-rumah warga dan kawasan padat penduduk.
Kawasan pemukiman warga desa Long Ampung.
“Warga di sini membayar Rp 4000 per malam untuk listrik yang disediakan oleh desa,” ujar Danramil Kapten Erry M, yang membawahi empat kecamatan yaitu Kayan Selatan, Kayan Hulu dan 2 kecamatan lain di kawasan perbatasan Malinau – Serawak. Sejak 2012 lalu, desa mendapatkan dana dari program Gerdema (Gerakan Desa Membangun) pemerintah Kabupaten Malinau. Dana itu diolah dan dikelola, salah satunya untuk membeli genset. Kebutuhan solar sehari-hari dibiayai secara swadaya oleh warga dengan iuran tadi. Jika satu malam mereka membayar Rp 4000, maka dalam sebulan, mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 120.000,-. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata pengeluaran biaya listrik keluarga sederhana yang menggunakan daya 450 Kwh dan 900 Kwh.
Tapi harus diingat bahwa listrik desa Metulang dan Long Ampung, tidak menyala sepanjang hari. “Kami di sini hanya menikmati listrik dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Setelah itu gelap gulita,” ujar salah satu siswi peserta pelatihan. Menurut mereka kondisi ini sangat mengganggu terutama aktivitas belajar, karena lampu menyala dengan sangat terbatas dan cenderung redup. Artinya, dengan Rp 4000 per malam, sama saja mereka harus membayar Rp 1000 per jam. Coba kalkulasikan jika warga pelanggan PLN yang menyala sepanjang hari, harus membayar Rp 1000 per jam. Dalam sehari, Rp 24.000 untuk 24 jam. Maka dalam sebulan harus mengeluarkan uang lebih dari Rp 600.000,-. Angka ini setara untuk rata-rata konsumsi listrik masyarakat kelas menengah atas dengan daya 2200 Kwh ke atas.
Sejumlah warga yang punya kemampuan finansial memadai, memilih membeli genset sendiri. Mereka rela merogok kocek cukup dalam untuk membeli solar yang harganya mencapai Rp 20.000,- per liter. Dengan genset sendiri, warga tersebut tidak perlu mengalami mati lampu seperti warga lainnya, mulai jam 10 malam. Biasanya, warga yang punya genset sendiri juga punya usaha seperti warung makan atau penginapan sederhana.
Pos Perbatasan pada malam hari.
Listrik juga menyala cukup terang di pos penjagaan perbatasan yang saya kunjungi, pada malam hari. Lampu-lampu menyala di sejumlah ruang dan halaman depan. Padahal, pos perbatasan ini jarak terdekatnya dengan wilayah permukiman sekitar 20-an km. Di wilayah permukiman saja belum ada listrik PLN, bagaimana mungkin di pos perbatasan ini ada listrik? Ternyata, pos perbatasan sudah menggunakan teknologi canggih yaitu tenaga surya atau sinar matahari. Di depan pos penjagaan terdapat sejumlah panel surya. Cadangan cahaya matahari itu cukup untuk menerangi pos perbatasan yang luasnya sekitar seperempat lapangan sepakbola. Keren.
Listrik memang menjadi kendala besar untuk sejumlah wilayah perbatasan. Mereka belum tersentuh layanan PLN akibat berbagai alasan. Urusan listrik bukan tanggung jawab pemerintah daerah melainkan tanggung jawab pemerintah pusat, melalui perusahaan negara satu-satunya yang mengurusi listrik di negeri ini, PLN. Menurut PLN, kendala utama di wilayah perbatasan adalah akses jalan. Banyak lokasi yang belum tersambung jalur darat. Tanpa jalur darat, PLN tidak mungkin memasang instalasi. Tiang-tiang listrik hanya bisa dipasang di sisi jalan.
Belum ada tiang listrik di sepanjang jalan tanah ini.
Kita tunggu saja janji pemerintahan Jokowi yang akan membangun Indonesia dari wilayah pinggiran dan desa. Tentu termasuk wilayah perbatasan, yang selama ini belum tersentuh secara optimal oleh pembangunan. Kabarnya, seluruh wilayah pinggiran dan perbatasan khususnya di Kalimantan Utara, akan teraliri listrik pada 2015 ini. Semoga. Dengan demikian, warga perbatasan akan merasakan hal yang sama dirasakan oleh masyarakat Indonesia di wilayah lain, yang sudah lebih dulu menikmati listrik sepanjang hari. Mereka bisa meningkatkan aktivitasnya dengan pasokan listrik yang memadai.
Anak-anak perbatasan sedang menatap masa depannya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H