[caption id="attachment_392078" align="aligncenter" width="560" caption="Bob Sadino. (Kompas.com)"][/caption]
Pertengahan April 2007. Sebuah rumah dengan nomor unik, 2121, menyambutku dengan teduh. Sudah tak sabar untuk masuk ke dalamnya dan bertemu dengan seorang hebat… Bob Sadino. Kehebatannya sudah meng-indonesia dan mungkin mendunia. Dia pengusaha agribisnis yang sukses dan nyentrik.
Begitu masuk ke rumahnya, sambutan beliau luar biasa. Sungguh amat hangat, tulus dan bersahaja. Senyum dan tawanya khas. Kebapakan sekali. Klop dengan suasana rumah beliau yang amat asri, hijau, teduh, dan luas. Luas rumahnya, luas pula halamannya. Ketika duduk di deretan kursi di luar bagian samping rumah… luasnya makin menjadi. Hamparan rumput hijau membentang di bawah sana. Mungkin luasnya tidak kalah dari satu hole lapangan golf.
“Silakan bedah saya. Ibarat sebuah gitar, saya ini adalah gitar tua yang siap dipetik oleh siapa pun,” ujarnya menyambut niat kami untuk membukukan nilai-nilai hidup yang dimilikinya. Saya memang tidak sendirian saat itu, melainkan bertiga bersama pengusaha Budi Utoyo dan I Nyoman Londen. Kami bertigalah yang kemudian berkolaborasi dan menghasilkan buku berjudul “Belajar Goblok dari Bob Sadino” Rekan saya yang lain I Made Teddy bergabung kemudian sebagai tim fotografi proyek buku tersebut serta Edy Zaqeus sebagai penulis buku kedua “Mereka Bilang Saya Gila.”
Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan dan mengubah begitu banyak jalan hidup saya, ke arah yang sangat positif, selama proses dan setelah buku itu diterbitkan. Om Bob benar-benar manusia langka, unik, nyentrik namun memiliki nilai-nilai dan prinsip hidup yang sulit ditemukan pada manusia Indonesia kebanyakan. Dia wajar berhasil. Dia pantas sukses. Cara berpikirnya bukan hanya “out of the box” tapi mungkin “out of the world”. Sampai detik ini, saya belum pernah lagi berjumpa atau mengetahui orang dengan cara berpikir melebihi cara Om Bob berpikir. He is the only one and the one only.
Syarat Penulisan Buku
Beliau mengajukan syarat ketika niat kami membukukan nilai hidupnya. Pertama, tidak setuju dijadikan buku biografi. “Sudah banyak yang minta, tapi om tolak!” ujarnya tegas. Beliau menjelaskan, tidak ada yang istimewa dalam perjalanan hidupnya. “Buat apa kisah hidup Om dibukukan…” kira-kira demikian alasannya. Yang kedua, “Kalau mau membedah Om, jangan hanya oleh satu dua orang. Tapi kumpulkan banyak orang dari latar belakang berbeda, terus bedahlah bersama-sama…”
Dengan dua syarat itulah kemudian kami merancang buku tersebut. Saya amat sering berbincang dengan beliau selama beberapa bulan, baik hanya berdua maupun bersama rekan yang lain. Juga berdiskusi ramai-ramai, melibatkan sejumlah publik figur dan juga orang biasa. Pernah suatu hari datang seorang perempuan usia 30-an datang ke rumah 2121. Kami tidak mengenalnya. Saat itu, kami sedang berdiskusi ngalor-ngidul.
Saya baru tahu bahwa selama ini sudah banyak orang seperti itu, yang tidak dikenal Om Bob, datang ke rumahnya. Om menerima dengan ramah. Diajaknya mengobrol ke sana kemari. Bahkan sempat berfoto-foto juga. Setelah sekian lama berbincang, keluarlah tujuan utama perempuan tadi datang ke rumah Om Bob.
“Saya mau minta bantuan Om. Saya sedang memulai usaha, mungkin Om bisa bantu mencarikan modal atau memberi modal…,” ujar perempuan itu.
Saya dan rekan-rekan kaget juga. Dalam hati agak dongkol mendengar permintaan perempuan tersebut. Baru kenal, sudah berani meminta modal. Tapi apa sikap dan jawaban Om Bob menjadi pelajaran berharga bagi kami. Dia tidak mengubah aura positifnya. Tetap ramah dan lembut serta penuh guyonan. “Kalau mau modal, kamu salah tempat. Di sini bukan tempat mencari modal. Gih sana kamu ke bank kalau mau cari modal,” ujar Om Bob tanpa nada kesal.