Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Belajar Sepak Bola ala BJ Habibie

12 Januari 2012   05:19 Diperbarui: 25 April 2020   11:53 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326357277440139032

[caption id="attachment_163286" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] 

Sejak kecil saya menyukai sepakbola. Kata ayah, saya sudah dikenalkan dengan bola sejak usia 1,5 tahun. Ayah memang pemain bola di kampung, yang cukup disegani, meski tidak sempat merambahi Liga Indonesia baik perserikatan maupun galatama. Saya juga bangga punya ayah pemain bola, yang kalau bertanding sangat ramai didukung warga. 

Begitu beranjak besar, saya juga mengikuti jejak ayah - menjadi pemain bola kampung. Kata orang, saya punya bakat dan berpotensi jadi bintang. Memang benar, di klub kampung dan di sekolahan/kampus saya termasuk bintang sepakbola, yang terkenal dengan gol dan gocekan. Tapi nyatanya saya tidak menjadi pemain bola profesional, hanya jagoan kelas kampung dan kampus tadi. Waktu itu, saya lebih memilih belajar sekolah formal ketimbang sekolah sepakbola. Apalagi di daerah saya, belum ada sekolah sepakbola. Beruntung sekarang banyak sekali sekolah sepakbola. Bahkan klub elit Arsenal pun buka sekolah di sini meski biayanya masih relatif tinggi. Tapi paling tidak, pemain muda berbakat atau mereka yang tertarik serius menekuni sepakbola bisa tersalurkan. Dengan demikian, kita punya harapan memiliki tim sepakbola yang tangguh. 

Hal ini memang impian pecinta bola Indonesia sejak lama yang juga tidak kunjung terwujud. Saya ingat betul dekade 1980-an tim kita sempat memberi harapan, ketika mampu menyingkirkan Thailand pada Pra Piala Dunia. Tapi saya juga pernah begitu muak saat tim kita dilibas 7 gol tanpa balas oleh Thailand pada ajang Sea Games. So, kapan impian punya tim tangguh itu menjadi kenyataan? 

Kirim Tim ke Luar Negeri 

Impian lagi-lagi muncul waktu pengurus PSSI mengirim tim muda ke luar negeri dengan nama proyek Garuda. Eh tapi hasilnya mengecewakan. Lalu datang lagi pengurus baru, dengan ide tim baru yang dikirim ke luar negeri. Malah tim ini sampai ikut kompetisi di Italia. Hasilnya? Tim dengan brand Primavera tersebut setali tiga uang. Gagal. Padahal mereka digadang-gadang sebagai tim masa depan bangsa ini. Tampaknya pengurus sepakbola Indonesia tidak pernah kapok mengirim tim ke luar negeri, meski biayanya sangat tinggi. Dekade 2000-an, mereka kembali mengirim satu tim muda berguru ke Eropa. Kali ke Belanda selama setahun dan dipoles oleh pelatih timnas Belanda. Hasilnya? Tim muda ini boleh disebut sebagai tim terburuk dibanding Garuda atau Primavera atau Bareti atau apalagi namanya... 

Salah Konsep 

Jelas sudah konsep mengirim satu tim utuh ke luar negeri bukan jawaban, untuk memperbaiki kualitas tim nasional. Pengalaman sudah menunjukkan hal itu. Tapi kenapa pengurus sepakbola kita tetap menyekolahkan satu tim? Terakhir, mereka kembali membawa satu tim lagi untuk berguru ke Uruguay, dengan biaya yang tidak sedikit. Sebagai tim, hasilnya nihil. Mengirim pemain bola belajar di negara yang maju sepakbolanya, tentu bukan hal buruk. Malah sangat bagus untuk merangsang anak muda negeri ini, agar lebih tertarik mengggeluti olahraga kulit bundar ini. Tapi kalau konsepnya keliru, hasilnya pasti berantakan seperti yang sudah berkali-kali terjadi. Lalu konsep seperti apa? Mbok ya belajar pada sektor lain! 

Belajar dari Habibie 

Lihatlah berapa banyak profesor cerdas asal Indonesia, yang berkiprah di Amerika, Inggris, Jerman, Belanda atau Jepang. Putera asli Indonesia mampu bersaing dengan siapapun di berbagai bidang keilmuan. Mereka pun bekerja di sana dengan standar yang sama bahkan lebih tinggi dari yang lainnya. Setiap tahun jumlah mereka terus bertambah, karena makin banyak orang Indonesia yang bersekolah di sana. Kenapa pemain bola tidak bisa berhasil seperti para profesor itu? Konsepnya beda!

Para intelektual itu, pergi ke luar negeri tidak berrombongan seperti pemain sepakbola. Mereka pun memilih bidang keilmuan terbaik yang ada di sebuah negara dalam jangka panjang. BJ. Habibie misalnya, belajar teknologi pesawat terbang di Jerman, bukan di Jepang atau Amerika. Di sana, Habibie langsung nyemplung ke dalam budaya Jerman, bergaul dengan beragam karakter orang dari berbagai negara. Pergaulannya mayoritas dengan orang Jerman, sehingga dia teramat fasih berbahasa Jerman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun