Â
Gaya media internet semacam ini mengingatkan saya pada media kuning (yellow journalism). Anda pasti tahu koran Pos Kota atau koran Lampu Merah ya, yang dulu beredar di Jabodetabek. Kalau di dunia, nama-nama seperti Dailymail Inggris atau jaringan Fox Amerika, sering dianggap sebagai media kuning. Judul berita mereka cenderung bombastis dan sensasional.
Â
Sukses! Tribunnews sukses besar. Jumlah pengunjung website mereka sempat nomor satu se-Indonesia. Iklan mengalir deras. Tiba-tiba, anak usaha ini menjadi primadona dan lumbung pemasukan baru bagi grup Kompas. Fenomenal. Fantastis.
Â
Namun, jiwa mereka terguncang. Setelah sekitar dua-tiga tahun menikmati hasilnya, para petinggi Kompas mengaku "berdosa". Click bait bukan karakter mereka. Bukan ruhnya Jacob Oetama sang pendiri. Tribunnews harus berhenti atau minimal mengurangi gaya click bait atau saya sebut saja jurnalisme abal-abal. Jurnalisme yang merusak mental masyarakat. Sama persis seperti media sosial tanpa kehadiran orang baik dan paham etika.
Â
Kompas, sebagai media massa mainstream utama, seharusnya menggarami media internet dan media sosial dengan kebaikan. Bukan sebaliknya. Konon, mereka bertobat. Saya cek di media internet, gaya "total football" click bait Tribunnews berkurang drastis. Semoga kembali ke khitahnya. Kaidah dan etika jurnalistik kembali jadi acuan. Seperti yang tercantum dalam buku Vademekum Wartawan, karya Parakitri T. Simbolon, salah satu engkongnya wartawan Kompas.
Â
Setelah Jakarta Giliran Bandung
Keberhasilan Tribunnews menginspirasi media lain berbuat sama. Di Jawa Barat, Pikiran Rakyat adalah yang terbesar. Koran ini ada di mana-mana khususnya di kawasan Bandung dan sekitarnya serta di kantor pemda-pemda seluruh Jawa Barat. Cengkeramannya amat kuat. Tapi... Disrupsi media massa oleh media online bikin mereka goyah. Limbung.