Indonesia… negara besar. Multi etnik. Multi ras. Multi agama. Multi segalanya. Untuk mengelola bangsa yang majemuk seperti ini, bukan perkara mudah. Butuh segerombolan pemimpin yang kualified, dengan syarat dan pra syarat khusus. Tidak cukup hanya satu atau dua pemimpin. Tidak cukup hanya satu atau dua kelompok pemimpin. Kita butuh lebih banyak lagi pemimpin berkualitas. Dan pemimpin berkualitas itu hanya lahir dari satu rahim: masyarakat Indonesia sendiri.
Salah satu pemimpin yang paling dibutuhkan untuk bangsa majemuk adalah yang berkarakter toleran. Toleransi terhadap perbedaan sangat mutlak dibutuhkan. Baik dalam hal cara berpikir, berucap, maupun bertindak. Sejauh ini, kita sudah lumayan bosan disibukkan dengan hal-hal yang tampak sepele, namun menguras energi terlalu banyak. Hal sepele itu, terkait dengan toleransi. Pemimpin yang kurang tenggang rasa terhadap perbedaan. Contoh kasus presiden Donald Trump di Amerika Serikat, yang sekarang menjadi bulan-bulanan kritik, bisa menjadi cermin. Bagaimana pemimpin yang (dicap) kurang toleran, akan menghadapi lebih banyak masalah, yang sebenarnya tidak perlu.
Karakter toleran ini termasuk dalam wilayah SOFT SKILL seorang manusia. Jika menggunakan ukuran intelejensia, maka masuk ke dalam ranah Emotional Quotient (EQ). Sebuah model kecerdasan yang diperkenalkan oleh Michael Beldoch pada 1964, yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman, seorang wartawan sains. Secara khusus Goleman dalam buku “What Makes a Leader” memaparkan sejumlah syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Catatan: buku ini mendapat predikat sebagai yang terbaik versi Harvard Business Review pada 1998.
- Harus punya tingkat kesadaran tinggi terhadap emosinya.
- Harus punya kontrol tinggi terhadap emosinya.
- Harus punya kemampuan interaksi sosial yang tinggi.
- Harus punya empati yang tinggi.
- Harus punya motivasi yang tepat.
Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Sebuah modal besar bagi bangsa ini, karena Islam di negeri ini adalah Islam yang mengajarkan toleransi dan bersikap moderat. Islam toleran bukan bikinan manusia zaman sekarang atau kreasi muslim nusantara, melainkan sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan para pemimpin terdahulu. Selama menjadi pemimpin, mereka selalu menampakkan wajah toleransi, yang terekam nyata dalam sejumlah literatur. Jika umat Islam Indonesia mau mengikuti contoh tersebut, maka sudah dapat dipastikan, di negeri ini akan lahir lebih banyak lagi pemimpin yang toleran.
Pun demikian dengan karakter suku-suku mayoritas di Nusantara ini. Suku Jawa dan Sunda, dua etnis terbesar, memiliki karakter toleransi tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Para Walisongo yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, begitu menonjol dalam urusan toleransi. Mereka tidak kontra dengan perbedaan, melainkan membungkus dirinya dalam harmoni perbedaan tersebut. Masyarakat Jawa menerima kehadiran Walisongo dengan bahagia. Hal sama yang ditunjukkan suku Jawa ketika menerima Hindu-Budha, sebelumnya.
Di Sunda, terdapat warisan paradigma yang cukup kuat mengakar berasal dari kerajaan Siliwangi, yaitu silih asah, silih asih, dan silih asuh. Sebuah cara pandang yang sangat lekat dengan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman lainnya berkembang di kampung-kampung Sunda sejak dulu sampai sekarang, REK KITU REK KIEU (mau begini mau begitu) urusan masing-masing. Yang penting ketika kerja bakti atau gotong royong semuanya ikut serta.
Kembali ke Akar
Menengok sedikit akar-akar tersebut, tidak bisa tidak… kita – orangtua, guru, pendidik – dan siapapun yang peduli dengan pendidikan anak, harus semakin GIAT dan GIGIH dalam membentuk karakter anak agar menjadi pemimpin yang toleran (tantangan terbesar saat ini dan di masa mendatang). Bukan hanya IQ yang tinggi, melainkan juga EQ yang memadai. Apalagi jika dilengkapi dengan SQ (spiritual quotient) yang cukup. Pemerintah pun wajib menyiapkan kurikulum yang memasukan karakter ber-EQ memadai di semua tingkatan sekolah.
Hasil pendidikan tidak akan pernah instan. Apa yang kita saksikan sekarang adalah hasil pendidikan beberapa dekade silam. Apa yang kita lakukan sekarang dalam mendidik anak-anak akan kita tuai hasilnya beberapa dekade mendatang. Saya membayangkan tantangan anak-anak kita di depan pasti akan lebih besar dibanding sekarang. Oleh karena itu, pendidikan karakter mereka saat ini harus lebih baik dibanding kita.
Indah sekali jika pada dua tiga dekade nanti, anak-anak hasil pendidikan karakter sekarang menjadi pemimpin-pemimpin berkualitas. Yang bukan hanya mumpuni dalam hal HARD SKILL, melainkan juga hebat dalam SOFT SKILL termasuk yang sedang menjadi sorotan sekarang yaitu pemimpin yang toleran. Pemimpin yang tingkat kesadarannya tinggi, kontrol emosinya tinggi, empatinya tinggi, interaksi sosialnya tinggi dan punya motivasi yang tepat dalam memimpin. Damailah Indonesiaku, karena stabilitas bangsa itu adalah salah satu kondisi syarat dari terciptanya kesejahteraan lahir dan batin.
Ya Allah Ya Tuhanku, kabulkanlah doa dan harapanku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H