Konflik yang nyaris tiada ujung akhir-akhir ini, membuat resah berbagai kalangan. Konflik kali ini memang unik, karena tidak terkait dengan separatisme, kekuatan bersenjata dan sejenisnya. Konflik lebih banyak berhubungan dengan kebhinekaan dan SARA dengan bumbu intelektualitas para pihak yang terlibat plus teknologi terkini. Hal yang menarik, karena kita berada di zaman maju dan modern dengan intelektual yang lebih baik, tapi tetap berkonflik ala masa lalu. Masing-masing pihak merasa benar sendiri dan cenderung memaksakan dalam menyuarakan kepentingannya. Sebuah fakta yang akan dicatat dalam lembaran sejarah bangsa ini. Sejumlah kalangan mulai menyuarakan keresahannya, seperti kelompok-kelompok keagamaan, nasionalis dan kaum cendekia.
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Mungkin bukan akar, tapi mengarah ke akar, yaitu faktor pendidikan usia dini dan dasar. Mari kita tengok bagaimana materi (kurikulum) pendidikan kita saat ini dan beberapa dekade ke belakang. Saat-saat ketika pihak-pihak yang sekarang sudah punya panggung sebagai orang dewasa berkonflik, mengenyam pendidikan. Mungkin termasuk di dalamnya saya sendiri. Sejak bangku TK (dulu belum ada atau belum banyak PAUD), kita sudah dijejali dengan muatan pendidikan akademis (khususnya kognitif serta termasuk di dalamnya keterampilan/keahlian). Sedangkan pendidikan karakter, relatif dangkal.
Padahal, berdasarkan hasil kajian banyak kalangan dan pendapat sebagian pakar pendidikan serta parenting, yang lebih penting ditanamkan pada usia dini dan dasar adalah pendidikan karakter. Bukan pendidikan akademis. Apalagi pendidikan karakter membutuhkan waktu jauh lebih panjang dibanding pendidikan akademis. Sebuah penelitian menyebutkan, pendidikan karakter wajib tertanam dalam diri setiap manusia sejak usia 0 tahun sampai usia 15 tahun.
Karakter inilah yang akan menjadi pondasi dan pijakan seorang manusia, dalam mengarungi kehidupan. Dan pendidikan karakter, tidak hanya melulu dilakukan oleh sekolah/lembaga pendidikan formal, melainkan juga keterlibatan secara aktif orangtua dan lingkungan sekitarnya. “Butuh orang sekampung untuk mendidik karakter seorang anak,” kira-kira demikianlah untuk menggambarkan betapa pentingnya pendidikan karakter.
Silakan Anda telusuri sendiri pendidikan yang kita dapatkan selama ini, sejak PAUD, TK, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi. Pendidikan apakah yang lebih banyak kita terima? Keseimbangan antara pendidikan akademis dan karakter, timpang. Pendidikan karakter cenderung terabaikan, atau porsinya sangat tidak memadai.
Orangtua (termasuk saya dulu hehe) begitu khawatir ketika anak kita yang duduk di kelas 1 SD, belum bisa membaca. Galau saat anak kita duduk di kelas 2 SD, belum bisa berhitung. Resah saat sudah kelas 6 SD, belum tahu ibukota propinsi Sumatera Barat. Tapi terkesan biasa saja, saat anak belum biasa membuang sampah pada tempatnya; Tidak peduli pada orang yang lebih tua atau kurang mampu; Gagap ketika harus menghargai pendapat orang lain; Terbiasa mengejek dan menghina teman sekelasnya…
Padahal, bekal mengarungi kehidupan bukan melulu akademis atau keterampilan. Bekal hidup paling mahal adalah karakter dirinya, yang syarat dengan kemampuan pengendalian emosi, pengelolaan daya pikir/nalar, serta spiritualitasnya. Hal tersebut inilah yang menurut saya, menjadi cikal bakal penyebab kenapa sejak Era Reformasi, bangsa kita belum juga menemukan titik keseimbangan baru, untuk tinggal landas membangun bangsanya secara bersama-sama. Mengedepankan kepentingan umum, dibanding kepentingan diri (ego) dan kelompoknya. Kita masih terlalu sibuk mengurusi ego, ketersinggungan SARA, dan sejenisnya, lalu berkonflik.
Lihatlah sejumlah negara lain, yang pendidikan karakternya sudah relatif baik. Misal di sejumlah negara skandinavia (Eropa bagian utara). Sejak usia dini, mereka dijejali dengan pendidikan karakter, sesuai dengan apa yang mereka yakini (karakter setiap bangsa berbeda-beda, meski sebagian besar tetap sama dan berlaku universal). Finlandia selalu menjadi contoh pendidikan karakter usia dini sampai umur 15 tahun.
Pendidikan dini dan dasar menyeimbangkan antara pola pikir (mindset), soft skill (termasuk karakter di dalamnya) dan life skill. Hasilnya, negara-negara skandinavia selalu menempati urutan teratas sebagai: negara paling bersih, negara paling rapi, negara paling bebas korupsi, dan negara yang warganya paling bahagia. Dan yang pasti, di sana: minim konflik. Problem solving menjadi salah satu materi pembelajaran utama di sekolah. Dan konflik serta kekerasan, bukan jalan keluar masalah!
Namun, saya optimistis. Kondisi sekarang ini di Indonesia akan segera berlalu. Mulai muncul generasi baru yang sudah mendapatkan pendidikan karakter memadai, yang bibit-bibit berikutnya masih terus dipupuk sampai sekarang. Makin banyak sekolah yang lebih mengedepankan dan menyeimbangkan pendidikan karakter dengan akademis. Makin banyak pula orangtua yang sadar tentang pendidikan karakter.
Semoga para pemimpin bangsa ini di berbagai bidang kehidupan, politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, militer dan sebagainya, makin memberikan perhatian yang nyata terhadap pendidikan karakter. Bukan sekadar slogan atau jargon, tapi benar-benar merealisasikannya. Para pemimpin itu juga harus sadar bahwa pemikiran, ucapan, dan perbuatan mereka mencerminkan karakternya, serta menjadi cermin buat seluruh bangsa, termasuk anak-anak kita.