Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Bintang Tak Bisa Lagi Dilihat di Lembang

23 Januari 2017   10:07 Diperbarui: 23 Januari 2017   10:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tolong, bintang kini tak bisa lagi dilihat di Lembang. Bintang-bintang menghilang. Habislah riwayat Lembang sebagai pusat peneropongan bintang. Habislah…”

Kira-kira begitulah jika diharfiahkan pekikan minta tolong dari seorang profesor astronomi, atas kekhawatirannya terhadap kondisi Lembang saat ini, yang dibungkus dalam sebuah film anak-anak (dan keluarga) berjudul IQRO. Lembang hanya selemparan batu dari Bandung, Paris Van Java yang semakin gemerlap. Lembang kini semakin hiruk pikuk dengan kegiatan wisata, mengekor apa yang terjadi di Bandung. Suhu yang adem membuat Lembang menjadi tujuan favorit wisatawan, dan tentu saja: para pengusaha wisata!

Padahal di Lembang ada Bosscha, pusat penelitian astronomi dan observatorium terbesar di Indonesia, yang dikelola oleh ITB dan LAPAN. Perkembangan pesat bisnis wisata di Lembang, sangat berpengaruh buruk terhadap Bosscha, yang dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Lembang kini sungguh berbeda dengan Lembang masa lalu. Gemerlap lampu-lampu menghiasi seluruh antero Lembang, dengan beragam kekuatannya. Pusat kegiatan wisata seperti hotel, memancarkan cahaya lampu yang sangat kuat. Inilah yang disebut sebagai polusi cahaya, musuh utama pusat peneropongan bintang seperti Bosscha.

“Dengan teropong paling canggih sekalipun, tidak akan mampu melihat bintang jika polusi cahaya terjadi seperti ini…” kata sang profesor yang diperankan dengan apik oleh Cok Simbara.

Saya ingat betul waktu kecil dulu, sekitar awal tahun 1980-an. Dengan mata telanjang, saya bisa mengamati miliaran bintang di angkasa. Langit begitu indah. Sesuai dengan lagu anak-anak tentang bintang kecil di angkasa. Waktu itu saya tinggal di desa Mekarsari, Bojong Picung, kabupaten Cianjur, sekitar 2km dari aliran sungai Citarum. Tidak ada polusi cahaya di sana. Ketika malam tiba, benar-benar gelap gulita.

Saya menemukan kembali moment tersebut ketika berkunjung ke hutan Malinau Kalimantan Utara. Takjub. Bintang-bintang bermunculan dengan sendirinya ketika malam tiba. Banyak sekali. Miliaran. Rasi-rasi bintang yang dipelajari di sekolah bisa diamati secara langsung, tanpa perlu teleskop. Saya sangat menikmati moment itu. Mungkin itulah yang dirasakan para pelaut masa lalu, nenek moyang kita, ketika mengarungi samudra.

Hal itu, tidak pernah saya alami selama puluhan tahun tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Langit tidak pernah menampakkan miliaran bintang. Yang terlihat hanya beberapa bintang yang ukurannya lebih besar dibanding bintang lain, dengan cahaya yang lebih kuat. Sedangkan miliaran bintang-bintang lainnya, entah kemana. Tak pernah bisa dinikmati. Polusi cahaya kota-kota besar, tidak bisa diajak kompromi. Dengan teropong paling canggih pun, kita akan kesulitan mengamati bintang, apalagi dengan mata telanjang.

Akademi Film Salman ITB dengan cerdas membalut kondisi kritis Bosscha dengan semangat keislaman masyarakat Indonesia saat ini. Semangat yang sedang meluap-luap. Namun dalam film itu, umat Islam dikritik sebagai tak lagi mencintai ilmu pengetahuan. Padahal, kitab suci umat Islam begitu tinggi menghargai dan menempatkan ilmu pengetahuan. Bossca menjadi salah satu contoh, korban dari makin sedikitnya umat yang peduli terhadap ilmu pengetahuan. Bosscha kritis. Sejak beberapa tahun lalu, pengelolanya akan menutup tempat teropong terbesar se-Asia Tenggara itu, dan memindahkannya ke Kupang Nusa Tenggara Timur. Lokasi yang masih sangat aman dari polusi cahaya.

Film IQRO seharusnya mampu menghentak nurani umat Islam saat ini. Kepedulian kita terhadap ilmu pengetahuan, sesuai perintah Iqro, harus dikaji ulang. Sang profesor dalam film itu, menyebutkan dengan jelas makna Iqro (membaca kitab suci, membaca alam semesta, dan membaca diri sendiri). Semoga setelah menonton film Iqro, tak lantas sekadar menikmati hiburan dan  indahnya sinematografi belaka, melainkan tergugah untuk IQRO dalam semua aspeknya. Dan seharusnya, Bosscha pun tetap berdiri di Lembang,  agar kita tetap bisa melihat-lihat bintang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun