[caption id="attachment_323914" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Saya bersyukur akhir-akhir ini kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya meningkat cukup tajam. Makin banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya tidak sekadar titip anak ke sekolah tersebut, melainkan ikut aktif dalam mendidik dan membimbing anaknya. Saya juga bersyukur makin banyak sekolah yang sadar, bahwa pendidikan anak tidak hanya diukur lewat hasil akademik, melainkan lebih daripada itu. Konsep multiple intellegence dan basis karakter kini menjadi salah satu acuan pendidikan. Â Mudah-mudahan kurikulum terbaru pun mengacu ke sana.
Artikel ini tidak bermaksud mengkonfrontasikan mana yang lebih baik antara pendidikan berbasis karakter dengan pendidikan berbasis akademik, karena sesungguhnya kedua hal tersebut sama-sama penting. Tidak akan ada habisnya jika kita masing-masing dengan sudut pandang yang berbeda, lebih meninggikan yang satu dibanding yang lain. Semoga Anda setuju bahwa kondisi ideal adalah hasil pendidikan yang karakternya bagus dan akademiknya juga bagus sesuai dengan jenis kecakapan masing-masing anak. Bukan begitu?
Anak-anak ini memang unik. Makin unik lagi karena yang meributkan mana yang terbaik buat anak adalah kita, para orang dewasa. Dari berbagai diskusi dengan sejumlah pihak, memang makin mengerucut bahwa keseimbangan pendidikan dan pengajaran dari semua sisi itu menjadi jawaban terbaik. Ideal. Karakter bagus, akademik memadai, dan potensi kecakapan khusus setiap anak tergali.
Ada anak yang tidak pandai dan tidak suka matematika, namun dia piawai dalam memainkan musik. Potensi itu digali dengan maksimal, sehingga sang anak bisa menjadi seorang komposer hebat.
Ada anak yang tidak pandai dan tidak suka sains, namun dia amat hebat dalam bermain sepakbola atau bola basket atau bulutangkis atau tenis. Potensi itu digali dengan maksimal sehingga sang anak bisa menjadi seorang atlet yang hebat.
Ada juga anak yang memang hebat dalam matematika, dia tidak suka seni atau olahraga. Potensi matematikanya digali dengan maksimal, sehingga kelak anak itu mampu menjadi seorang ahli matematika yang luar biasa.
Ada juga anak yang tidak suka matematika, tidak senang sains, tidak suka seni dan juga tidak hobi berolahraga. Dia hanya suka menulis. Potensi itu bisa digali secara maksimal, sehingga kelak dia bisa menjadi penulis hebat (baik fiksi maupun non fiksi). Anak ini punya kecerdasan linguistik.
Kalau dibahas lebih panjang lagi, sesuai dengan konsep multiple intellegence, maka kita bisa makin sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kecerdasan yang berbeda-beda. Kita paham, bahwa manusia memang punya keunggulannya masing-masing. Tidak ada anak bodoh di dunia ini. Tidak ada juga anak yang lebih pintar dibanding yang lain. Atau paling pintar. Masing-masing pintar di bidangnya masing-masing.
Kadang sebagian dari kita masih terjebak dengan ukuran pintar dan bodoh, hanya dengan indikator prestasi akademik. Ketika sebuah lembaga di luar negeri (PISA) melansir hasil survey dua pelajaran akademik Matematika dan Sains, Indonesia yang terbawah di dunia (peringkat 65 dari 65 negara yang disurvei, seratusan negara lainnya tidak ikut disurvey), banyak pihak yang mencap murid Indonesia sebagai yang terbodoh. Hati-hati. Cap itu sungguh buruk. Kita orang dewasa seringkali asal memberi cap kepada anak-anak. Apakah kita perhitungkan perasaan anak-anak?
Kecerdasan multi yang di atas saya kupas akan menjadi ideal, ketika karakter mereka sesuai dengan karakter manusia seutuhnya. Karakter yang rendah hati, toleran, jujur, berani, kreatif dan seabrek karakter positif lainnya. Kita pasti sadar bahwa membentuk karakter jauuuuuh lebih sulit dibanding mengajari mereka membaca, menghitung, Fisika, Kimia, Matematika, Seni, Sain, Bahasa, Olahraga dan sejenisnya. Proses pembentukan karekter harus dilakukan sejak usia dini, secara terus menerus, minimal sampai usia anak 15 tahun.
Mencetak anak yang berkarakter, jauh lebih panjang, berliku dan penuh tantangan, dibandingkan menggali potensi kecerdasan multi anak-anak. Apalagi jika dibandingkan dengan hanya pendidikan akademik. Kecerdasan akademik hanya salah satu dari 8 kecerdasan multi manusia. Proses pendidikan akademik, relatif lebih pendek dan lebih mudah, dibandingkan proses pendidikan karakter.
Itulah sebabnya jika kita menengok ke negara lain, banyak sekali dari mereka yang sudah sejak dini mendidik secara khusus karakter anak-anaknya. Sudah tersistem. Finlandia, Swedia dan Denmark bisa menjadi contoh bagaimana sistem pendidikan karakter dimulai dari keluarga sejak dini. Di Swedia misalnya, orang tua – lebih tepatnya kedua orang tua/suami istri – wajib cuti selama 2 tahun, ketika memiliki anak. Jadi mereka cuti sejak kelahiran anak, sampai sang anak berusia 2 tahun. Pemerintah menjamin gaji mereka selama 2 tahun. Selama 2 tahun itu, sang anak akan mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya, seorang ayah dan seorang ibu. Lengkap. Bukankah ideal jika anak mendapatkan ASI selama dua tahun, plus kasih sayang langsung dan penuh dari kedua orangtuanya?
Di Finlandia lain lagi. Dalam sistem pendidikan mereka – yang kemudian menjadi terbaik di dunia – tidak ada ujian, kecuali pada usia 15 tahun. Catat, ujian pertama dan satu-satunya yang dialami anak di Finlandia adalah ketika sang anak berusia 15 tahun. Usia yang cukup kuat dalam menghadapi efek dari ujian. Usia yang sudah sejak dini mendapatkan asupan karakter yang kuat. Sampai usia 15 tahun, sistem belajar mereka kombinasikan antara karakter dan multiple intellegence.
Bagaimana dengan Denmark? Setali tiga uang dengan dua negara tetangganya itu. Bagi orang Denmark, sistem pendidikan apapun sebenarnya bukan hal utama. Yang utama adalah bagaimana menanamkan karakter kepada anak-anak mereka. Pendidikan akademik, bukan ukuran. Kejujuran justru yang menjadi patokan tertinggi di sana. Selama orang-orangnya jujur, maka semua program akan berjalan dengan baik. Begitu keyakinan mereka. (Tiga negara ini berada pada posisi terendah dalam urusan korupsi).
Di Indonesia, seperti saya singgung pada bagian awal tulisan ini, saya bersyukur sudah semakin banyak pihak yang peduli dan sadar bahwa pendidikan karakter anak, jauh lebih sulit dibandingkan pendidikan multi kecerdasan (termasuk akademik). Sekarang sudah semakin banyak sekolah yang lebih mementingkan karakter dibanding akademik.
Ukurannya bukan seberapa banyak medali olimpiade yang diraih, bukan seberapa tinggi nilai matematika, bukan pula peringkat kelas atau status akreditasi. Ukurannya adalah seberapa disiplin seorang anak datang tepat waktu dan menghargai waktu? Seberapa peduli dia dengan lingkungan sekitarnya, dengan alam semesta dan sesama manusia? Seberapa toleran dia terhadap perbedaan di sekitarnya? Masihkah anak itu membuang sampah sembarangan? Sudah beranikah dia menegur orang tuanya yang masih suka buang sampah sembarangan atau merokok sembarangan? Masihkah anak itu suka berkata-kata tidak baik kepada orang lain? Apakah dia suka menghujat, mencaci maki, mengejek orang lain? Dan hal-hal terkait karakter lainnya.
Semoga kita kaum pendidik makin peduli dengan karakter anak, jauh lebih peduli dibanding memburu nilai tertinggi UN, medali Olimpiade dan sejenisnya. Itu penting dan baik, asal karakternya juga dijaga. Jangan sampai kita sebagai pendidik, lantas mencap anak dengan nilai matematika rendah sebagai anak bodoh.
Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H