Catatan Perjalanan (1)
“Di dadaku Merah Putih, Di Perutku Malaysia…” Demikian ungkapan penduduk di perbatasan Indonesia – Malaysia yang sempat membuat pejabat pusat kegerahan. Bagaimana dengan Anda, ketika membaca kalimat itu? Ungkapan itu bukan pertanda kurangnya nasionalisme penduduk perbatasan, melainkan mempertunjukkan realitas sesungguhnya di wilayah perbatasan. Salah satunya di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara (Kaltara), yang lebih dari 400 km wilayahnya berbatasan langsung dengan Malaysia. Bisa Anda bayangkan panjang wilayah 400 km? Tahukah Anda berapa jarak dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur)? Sekitar 1.000 km. Maka wilayah Malinau yang berbatasan dengan Malaysia nyaris setengah atau sepertiga pulau Jawa! Jarak Jakarta – Semarang saja sekitar 480 km. Malinau sendiri merupakan kabupaten hasil pemekaran pada 2001. Sebelumnya, Malinau hanyalah salah satu kecamatan bagian dari Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur. Luas Malinau sekitar 40.000 km2. Atau sekitar 70 kali luas DKI Jakarta. Jadi sesungguhnya butuh 70 gubernur untuk mengurus Malinau, wilayah perbatasan yang selama ini masih terabaikan. Saat ini, Malinau dipimpin oleh seorang bupati. Kondisi Malinau dan perbatasan memang masih jauh dibandingkan kemajuan kota-kota di Jawa. Boleh disebut kota ini masih perawan. Namun dari segi kesejahteraan sebenarnya tidak terlalu berbeda. Bahkan mungkin secara rata-rata kesejahteraan warga di Malinau lebih tinggi dibanding rata-rata warga di Jawa. Sebagai perbandingan statistik, jumlah orang miskin di Malinau hanya sekitar 10% saja. Di perbatasan, harga bensin dan harga semen, bisa 10 kali lipat atau lebih harga di Jawa. Namun, mereka masih mampu membelinya!
Wajah Perbatasan Indonesia Ibu kota Kabupaten Malinau hanyalah sebuah kota kecil yang minim fasilitas. Jangan bayangkan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, atau Medan. Jangan bayangkan juga kota sedang seperti Malang, Bogor atau Solo. Dari sisi infrastruktur, sarana dan prasarana, Malinau belum apa-apa. Kekayaan Malinau bukan dari infrastruktur, sarana dan prasarana melainkan dari luasnya hutan di sana. Dari total luas 40.000 km2 itu, 90% lebih adalah hutan belantara, termasuk hutan lindung. Sejauh mata memandang dari arah udara, Malinau terlihat hijau royo-royo.

Wilayah perbatasan merupakan etalase bangsa di mata negara lain. Laiknya etalase maka pemilik etalase semaksimal mungkin membuat etalasenya bagus dan menarik. Sayang sekali, etalase bangsa di perbatasan justru sebaliknya. Wajah perbatasan kita masih belum layak disebut sebagai etalase. Beruntung, Malinau memiliki putra daerah terbaik yang kini menjadi pemimpin daerah itu. Dr. Yansen TP, sang bupati yang menjabat sejak 2011 lalu, memprioritaskan pembangunan infrastruktur di Malinau khususnya wilayah perbatasan dan pedalaman. Prioritas pemda Malinau adalah membangun jalan dan sarana komunikasi. Hasilnya, sudah mulai terlihat. Saya berkesempatan melakukan perjalanan menarik ke wilayah itu… Perjalanan dan liputan ini bukan hanya didukung oleh pemda Malinau, melainkan juga oleh Kodim Malinau. Dandim Malinau Letkol Inf Agus Bhakti berpandangan sejalan dengan pemda, untuk meningkatkan kesadaran bangsa Indonesia terhadap wilayah perbatasan. “Dibanding daerah lain di Indonesia, mungkin semangat kebangsaan dan nasionalisme di sini lebih tinggi. Ada daerah lain yang selalu menyanyikan Indonesia Raya dalam setiap kesempatan?” katanya.
Jadi ungkapan “Merah putih di dadaku, dan Malaysia di perutku” memang hanyalah sebuah ungkapan realitas. Sedangkan semangat kebangsaan dan nasionalisme warga perbatasan, tidak perlu diragukan lagi. Bersambung…Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI