“Sudah berapa lama bensin tak ada di kota?” tanya saya kepada seorang pengendara sepeda motor di Malinau, Kalimantan Utara.
“Sudah seminggu lebih…” tukasnya cepat.
“Apakah kejadian semacam ini sering?” lanjutku dengan pertanyaan baru.
“Lumayan sering…” katanya lirih. Wajahnya menampakan ekspresi yang biasa-biasa saja. Tak ada rona kekecewaan yang dalam. Biasa.
Padahal, untuk mendapatkan bensin di kota perbatasan ini, bukan perkara mudah. Selama seminggu saya tinggal di sana, tak ada satupun pom bensin yang buka, dengan alasan, tidak ada kiriman minyak dari Tarakan. Jarak Tarakan ke kota ini, yaitu Malinau sekitar 200 km. Jarak itu bisa ditempuh lewat udara, selama 30-40 menit, dan lewat sungai selama 2-3 jam. Pengiriman minyak, menurut warga di sana, biasanya dilakukan lewat angkutan sungai.
Di Malinau, terdapat beberapa pom bensin. Tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Itupun bukan SPBU yang resmi di bawah pengelolaan dan pengawasan Pertamina, melainkan pom bensin swasta swakelola. Istilahnya, mereka tidak bertanggung jawab ke Pertamina, tidak ada hubungan langsung dengan manajemen Pertamina. Pihak swasta yang mengelola semuanya. 100%. Sehingga, tidak ada kepastian persediaan bensin atau solar di sana. Tak heran jika persediaan bensin dan solar, kadang kosong selama seminggu.
Ketika terjadi ketiadaan pasokan BBM, warga terpaksa membeli bensin industri yang harganya lebih tinggi dibanding bensin subsidi. Itupun kalau ada bensin industri yang sedang mengalir ke Malinau. Kalau tidak ada? Mereka membeli eceran di pinggir jalan, dari pengusaha kecil yang bisa mengangkut BBM dari Tarakan dalam jumlah kecil. Oh ya, harga bensin subsidi di Malinau adalah… di atas Rp 10.000. Kadang Rp 12.000. Kadang lebih. Jadi, sesungguhnya tidak ada bensin atau solar subsidi di Malinau.
Saya sebagai pelancong di kota itu, hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengurut dada. Sungguh prihatin. Padahal, Malinau adalah kota perbatasan yang luasnya hampir 70 kali luas ibukota negara, Jakarta. Malinau berbatasan langsung dengan Malaysia. Dia bisa menjadi etalase bangsa di mata bangsa lain. Sayang sekali, banyak fasilitas umum, infrastruktur dan persediaan kebutuhan sehari-hari yang tidak terpenuhi atau kurang memadai. Bukan karena pemerintahan daerah di sana tidak mau. Tapi memang kondisinya tidak memungkinkan seperti hilangnya BBM di sana. Ada pihak lain yang bertanggung jawab atas penyediaan barang tersebut, yaitu Pertamina.
Jadi, lewat tulisan ini saya sungguh berharap agar Pertamina datang dan hadir di kota perbatasan itu. Hadirlah sebagai sesama anak bangsa. Hadirlah bukan sebagai insitusi bisnis, yang hanya mengeruk keuntungan. Hadirlah sebagai sesama saudara yang saling membutuhkan. Saya yakin, kalau mau, Pertamina bisa hadir di sana. Hadir dengan kehadiran yang sesungguhnya. Bukan hadir hanya seadanya. Jika ada kendala, berkoordinasilah dengan pihak lainnya. Warga kota perbatasan itu – dan mungkin warga di kota lainnya – sungguh membutuhkan kehadiran Pertamina.
Saya sendiri mengalami langsung perihal kesulitan BBM di Malinau. Pada suatu malam, ketika hendak bertemu dengan pihak dari Jakarta, motor yang saya tunggangi tiba-tiba mati. Ternyata, bensinnya habis. Saya telpon orang setempat untuk meminta tolong. Dia sempat bingung. Tak ada pom bensin yang buka. Dan tak ada tukang BBM eceran di malam hari, di lokasi tempat saya mogok. Tahukah Anda di mana lokasi motor saya mogok? Tepat di seberang Gedung Olahraga Utama Malinau, hanya 500 meter dari gedung DPRD, kantor Polres dan Kantor Pemda Malinau. Sulit membayangkan saudara kita yang tinggal jauh dari pusat kota Malinau, yang jaraknya masih ratusan kilometer di bagian barat dan utara, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Saya hanya tersenyum kecut dan dongkol. Tapi itulah kenyataannya. Itulah faktanya. Terpaksa saya tinggalkan motor tersebut dan beralih dengan jemputan mobil.
“Biarkan saja di situ pak. Aman. Tidak akan ada yang ambil…” ujar sang sopir.
Malinau memang aman. Warga sangat menghormati hak kepemilikan orang lain. Tertib. Bahkan di tempat keramaian pun, sejumlah handphone yang terjatuh, bisa kembali ke pemiliknya setelah sekian lama hilang. Salut.
Kesalutan pula yang muncul terkait BBM. BBM langka, BBM subsidi yang tidak berharga subsidi, disikapi dengan sangat positif oleh warga. Menurut mereka, daripada mengeluh apalagi berdemonstrasi, lebih baik produktif menggarap ladang, kebun atau kegiatan usaha lainnya. Harga BBM yang tak bersubsidi itupun, dengan lapang dada mereka beli. Mereka sanggup membelinya.
Sayang sekali… Pertamina, jarang hadir di sana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H