Catat ya… desa ini Long Ampung letaknya hanya sekitar 40 km dari garis perbatasan Indonesia – Malaysia. Untuk mencapai desa ini, kita harus menggunakan pesawat terbang. Dari Jakarta, perlu 3 kali ganti pesawat terbang, yaitu menuju Balikpapan kemudian ke Samarinda atau Tarakan dan dilanjutkan ke desa tersebut. Atau melalui Malinau juga menggunakan pesawat terbang. Di desa ini terdapat bandar udara perintis yang bisa didarati oleh pesawat kecil jenis ATR atau Cessna. Ada tiga maskapai yang melayani rute menuju Long Ampung yaitu Susi Air, MAV, dan Aviastar.
Bagaimana dengan jalur darat?
Hmm berat! Dari Samarinda, butuh waktu selama 3 hari, melalui Kabupaten Kutai Kertanegara. Medan jalan yang berat yang menyebabkan lamanya perjalanan. Tidak ada jalan aspal menuju desa ini. Hanya jalan tanah yang jika hujan akan sangat sulit dilalui. Pun begitu jalur sungai. Tidak ada jalan keluar desa ini menggunakan jalur tersebut yang bisa sampai ke Samarinda. Atau ke ibukota kabupaten Malinau sekalipun. Bahkan, jalur darat belum tersambung ke Malinau. Setiap urusan harus diselesaikan melalui jalur udara.
Di desa inilah, Kodim Malinau menyelenggarakan Writing Camp dan pelatihan wawasan Kebangsaan untuk 60 siswa siswa SMP dan SMA di perbatasan. Tiga sekolah yang menjadi peserta adalah SMPN 1 Kayan Selatan, SMAN 2 dan SMAN 9 Malinau yang berlokasi di Kayan Ulu sekitar 20 km dari garis perbatasan Indonesia – Malaysia. Apresiasi tinggi untuk Komandan Kodim Malinau Letkol Inf Agus Bhakti, yang menularkan virus cinta tanah air dan ketahanan nasional melalui kegiatan menulis.
Kami – Saya dan E.S Ito, penulis novel Rahasia Meede dan produser film – mendapatkan kesempatan menjadi mentor dalam acara Writing Camp ini. Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Balikpapan, disambung jalur darat selama 3 jam ke Samarinda. Dari Samarinda perjalanan diteruskan menggunakan pesawat kecil Aviastar berkapasitas 14 penumpang. Kami memulai perjalanan Kamis siang dari Jakarta, dan baru bisa terbang ke Long Ampung pada Jumat pagi.
Selama perjalanan udara dari Samarinda – Long Ampung, yang terlihat di bawah hanyalah hutan belantara. Lebat. Sebagian kecil saja yang sudah dirambah. Butuh waktu 1 jam 10 menit untuk sampai di sebuah bandara mini Long Ampung. Pesawat Aviastar mendarat mulus di landasan yang tampak baru diaspal. Bandara ini tergolong baru dan masih terus dibangun untuk diperluas. Masih terdapat alat berat di sana sini dan sejumlah pekerja sibuk beraktivitas. Bandara kecil ini hanya memiliki satu bangunan seukuran kantor kepala desa. Sangat sederhana. Penumpang atau pengunjung bisa melihat dengan leluasa pesawat yang datang, bongkat muat dan kembali terbang. Dalam sehari, paling hebat bandara ini didarati 3 pesawat. Itupun hanya terjadi 3 kali dalam sepekan. Ada rute dari dan ke Malinau, ada pula rute dari dan ke Samarinda. Pesawat hanya singgah sekitar sejam. Turun, menurunkan penumpang, dan kemudian segera terbang lagi membawa penumpang baru.
Segar… itulah kesan pertama begitu mendaratkan kaki di tanah Long Ampung. Sebuah desa kecil berpenduduk tidak lebih dari 1500 orang. Desa ini termasuk dalam wilayah kecamatan Kayan Selatan, salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Jalan dari bandara ke desa tersebut hanya berupa jalan tanah yang dikeraskan, ditambah sedikit batu-batu. Tidak ada jalan aspal di sini. Hal itu menyebabkan kecepatan kendaraan paling cepat hanya berkisar 40 km/jam.
Memasuki kawasan pedesaan, terlihat berderet rumah penduduk. Rumah mereka berhadap-hadapan dibatasi oleh sebuah jalan kecil, yang hanya bisa dilalui satu mobil saja. Di salah satu bagian, terdapat balai pertemuan warga. Luasnya bisa menampung lebih dari 200 orang. Bangunan ini konon hasil dari program PNPM Mandiri pemerintahan SBY. Pun jalan-jalan kecil desa yang sebagian sudah dibeton. Di sinilah, sekitar 60 siswa-siswa SMP dan SMA di perbatasan mendapatkan pelatihan tentang wawasan kebangsaan dan penulisan artikel populer.
Luar biasa! Warga perbatasan yang serba terbatas dan serba kekurangan, namun mendapatkan pelatihan penulisan artikel populer. Di kota saja bahkan kota besar seperti Jakarta, belum tentu siswa siswa setingkat SMP atau SMA mendapatkan pelatihan jenis ini. Sungguh mereka beruntung. Dan sungguh luar biasa Kodim Malinau, yang menyelenggarakan acara tersebut. Dandim Malinau Letkol Inf Agus Bhakti, ingin agar rasa cinta tanah air dan kekuatan sipil mampu menopang ketahanan nasional. Lewat tulisan anak-anak muda perbatasan dapat menyalurkan rasa cinta tanah airnya.
Ternyata, daya tangkap mereka sangat bagus. Apalagi ditambah dengan semangat khas anak muda yang haus ilmu pengetahuan. Jadilah acara yang berlangsung selama 2 hari itu semarak, seru dan penuh dengan gelak tawa serta tanya jawab. Setiap peserta dilatih mampu mengeluarkan ide dan pikirannya lewat tulisan, menggunakan tehnik penulisan artikel populer. Sebagian juga menggoreskan tintanya dalam bentuk cerpen. Praktik latihan berlangsung di balai pertemuan dan juga di sebuah danau sekitar 500 meter dari balai. Sebuah danau yang indah seukuran 4 kali lapangan sepakbola. Airnya bening. Di sekelilingnya terdapat bukit dan pepohonan hijau yang masih asri. Indah.
Hasil tulisan mereka luar biasa, dengan isi yang beragam. Meski diliputi banyak keterbatasan, namun cara berpikir mereka terbang tanpa batas ke seantero bumi. Kelak, hasil tulisan mereka akan dibukukan dalam bentuk kumpulan artikel anak-anak perbatasan.
Anak-anak perbatasan juga mampu.
Anak-anak perbatasan juga bisa.
Terbukti, tulisan mereka menggambarkan optimisme luar biasa.
“Aku Cinta Indonesia dan Aku Bangga Jadi Anak Perbatasan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H