Kala langit mulai dihias goresan cahaya jingga di arah barat. Sinar baskara yang tadinya terik menyengat, sekarang meredup tetapi tetap memberi rasa hangat. Aku kembali lagi di sini. Di tempat yang sudah memberi banyak kenangan dalam perjalanan hidupku. Di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Riuh manusia di luar terdengar jelas menemani dengan segala aktivitasnya.
Setiap ke Yogyakarta, Jalan Malioboro menjadi salah satu tempat yang wajib kudatangi. Siapapun wisatawan yang berlibur ke Kota Pelajar ini, Jalan Malioboro masih menjadi salah satu daftar tujuan wisata untuk dikunjungi. Selain populer, juga memang memiliki berbagai daya tarik yang jarang ditemukan di tempat lainnya.Â
Aku bisa menikmati beragam hiburan, penggambaran kebudayaan yang kaya, bangunan-bangunan bernilai sejarah, buah tangan khas dan berbagai aktivitas wisata lainnya. Tempat ini juga menjadi bersejarah karena merupakan salah satu pusat berbagai aktivitas di masa lampau.
"Mas Rifan bohong..." terdengar suara tertahan seorang wanita.
Ia duduk di kursi kiri depan. Bersebelahan denganku yang menggenggam erat stir mobil yang terparkir di pinggir jalan. Aku menoleh ke arahnya. Dia masih melihat ke depan. Aku menatap dalam wajah perempuan yang dulu selalu menari-nari di taman hatiku. Wajah itu masih meneduhkan seperti biasanya. Namun kini, mulai ada rasa sakit saat mataku terus terpaku padanya.
"Mas Rifan bohong sama aku! Mas Rifan sebenarnya masih marah sama aku!" kini ia menoleh ke arahku. Dua pasang mata kita saling bertemu. Dulu saling memancarkan cinta, sekarang saling berbalas rasa sakit.
"Aku enggak marah sama kamu. Enggak ada yang perlu aku jadikan alasan untuk marah. Semua udah selesai," jawabku membalas tatapan sendunya.
Jantungku makin berdegup kencang. Ada sesak yang tiba-tiba menguasai dada. Ah, aku selalu saja seperti ini saat dekat dengannya! Berada beberapa sentimeter darinya membuat hatiku berdebar. Namun, aku tetap mencoba seperti tidak terjadi apa-apa. Mengatur nada suaraku agar terdengar seperti biasanya.
"Jangan bohong terus, Mas! Kamu udah berubah sekarang. Tadi di tempat pelatihan kamu seperti sengaja menghindar dari aku. Seakan-akan aku dianggap enggak ada!"
"Beneran aku enggak marah, Nana. Aku udah anggap selesai hal-hal yang dulu ada di antara kita. Kejadian lalu itu udah enggak perlu kita bahas lagi."
Aku masih saja mencoba baik-baik saja! Jujur rasa sakit dan kecewa yang dulu teramat itu masih bisa aku rasakan. Dipaksa menerima keputusan yang tidak bisa aku ajukan perihal keberatannya. Aku ingin bilang kalau yang terjadi dulu masih menyimpan trauma di hatiku. Membuat luka terperih yang tertatih-tatih aku usaha obati agar pulih. Sekarang, dia membuka kembali luka menganga itu padahal sudah aku tutup dengan jahitan air mata.