Warung kucingan (baca : angkringan (bahasa Semarangan)) merupakan salah satu tempat favorit nongkrong saya semasa kuliah dulu. Salah satu alasan yang membuat saya gemar nongkrong ditempat ini selain murah yaitu saya bisa berinteraksi dengan semua pelanggan warung tersebut tanpa harus kenalan terlebih dahulu. Tema obrolan sangat bervariasi, mulai dari yang santai sampai serius, mulai dari normal sampai abnormal. Bahkan bisa langsung nimbrung pembicaraan tanpa ada yang tersinggung. Ini mungkin bentuk adat keramahan cah Semarang yang terbuka pada siapa saja. Namun kali ini saya tidak akan membahas tentang warung kucingan, tetapi tema obrolan yang saya temukan barusan di warung kucingan sebelah kantor.
Sore ini menjelang lembur, mendadak saya ingin sekali nongkrong di warung kucingan sebelah kantor. Tema obrolan kali ini adalah pasang nomor (togel). Salah seorang pelanggan menceritakan bagaimana pengalamannya mendapat inspirasi nomor untuk dipasang.
“Aku wingi bar njaluk nomer karo wong gendheng…” katanya membuka obrolan. Penjual kucingan menanggapi dengan serius sambil tangannya tidak berhenti mengaduk teh hangat pesanan saya “lha terus piye mas? Entuk? Tembus ra?”. “Jan, gendheng tenan…”jawab pelanggan itu sambil menyeruput kopi hangatnya. Lalu dia meneruskan “ngene lho ceritane….”. Ia mulai menceritakan pembicaraannya dengan wong gendheng tersebut, antara lain sebagai berikut :
Pelanggan (PL): “Heh! Sing metu piro sesuk?” sambil bersiap siap menulis di telapak tangan
Wong Gendheng (WG): “……..”
PL: “heh! ditakoni malah meneng wae!!”
WG: “gedhang rong dina…”
PL: “nyoh ki.. rokok wae rong ler…”
WG: “gedhang rong dina…”
PL: “yo wis.. sesuk tak ter I gedhang e… piro sing metu?”
WG: “pitu loro… pitu loro…”
PL: “tenan lho ya…”
WG: “pitu loro… pitu loro…”
“Aku langsung mangkat, tak pasang” ujar pelanggan tersebut melanjutkan ceritanya. “lha kok sing metu malah kosong tiga lapan… kak***ne!!!” umpatnya.
Tiba tiba pelanggan lain yang tepat di sebelah saya menyeletuk “Lha sing gendheng ki sak jan e sopo??”. Spontan semua yang ada di warung tersebut tertawa terpingkal pingkal termasuk saya.
Lumayan lah berbekal dua ribu lima ratus rupiah saya bisa dapat teh hangat dan dua potong gorengan plus hiburan mengocok perut (terbukti : kenikmatan tidak bisa dinilai dengan uang… hehehe).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H