Mohon tunggu...
Penta Sakti
Penta Sakti Mohon Tunggu... Lainnya - Jiwa dan Pusaka

Sarjana psikologi yang percaya Nusantara negeri kramat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keris: Tantangan dan Peluang di Mata Generasi Muda

9 Februari 2021   17:50 Diperbarui: 10 Februari 2021   15:26 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira-kira tiga tahun terakhir ini saya cukup intens mempelajari sebuah mahakarya peninggalan leluhur yang bernama "keris". Meskipun tidak terlalu serius, namun ditengah proses perkuliahan saya sengaja menceburkan diri dalam lingkar diskusi beberapa komunitas perkerisan di Yogyakarta, termasuk berdiskusi dengan senior-senior disana. Alasannya sangat sederhan, "pengen tau secara langsung" dan bukan sekedar "katanya" proses ini kemudian tidak berhenti pada proses tanya-jawab, namun secra pribadi mulai tertarik untuk merawat, melestarikan dan menikmati dinamikanya.

Keris memang tidak pernah selesai untuk dibahas dan dipelajari. Benda ini ibarat sebuah bawang yang memiliki berlembar-lembar lapisan ketika tlaten dikuliti. Juga ada banyak sekali sudut pandang yang bisa kita gunakan. Sebagai contoh, seorang pedagang keris tentu akan melihat sisi-sisi ekonomis dan pundi-pundi rupiah karena dijadikan komoditas. 

Seorang kolektor akan melihat keris sebagai benda koleksi yang pantas untuk diburu. Seorang kurator museum akan melihat keris sebagai artefak sejarah yang dengannya dilakukanlah proses konservasi terhadap artefak ini sesuai SOP dan metodelogi yang ia pahami. Ini semua adalah fenomena yang saya saksikan sendiri ketika menceburkan diri kedalam dunia perkerisan.

Berbagai pandangan dan pro-kontra pun meliputi eksistensi jagat perkerisan di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana banyak masyarakat yang memiliki cara pandang dan sikap yang "woles" dalam memandang keris, adapula sebagian lain yang memiliki pandangan sinis. Meskipun demikian, dalam kesempatan ini izinkanlah saya menemepatkan diri sebagai seseorang pemilik keris yang pengen "curhat" dan beropini tentang dunia perkerisan. 

Karena sungguh, warisan adiluhung ini menyimpan segudang nilai berharga untuk dipelajari. Bukanlah muluk-muluk dimensi mistiknya saja (yang memang tidak terpisahkan), namun yang pertama dan utama adalah bagaimana sebuah bangsa yang bermartabat mampu menghargai karya-karya peninggalan leluhurnya sehingga potensi kebudayaan ini berdaya guna demi kemajuan bangsa.

Bias informasi dan introspeksi luar-dalam

Harus diakui bahwa pengetahuan yang proporsional tentang keris belum mulus terjamah oleh masyarakat, khususnya awam. Masyarakat pun tidak bisa disalahkan atas hal ini. Mengingat sebagaimana keris yang dibanggakan sebagai properti-integral dalam pakaian adat tradisional. Namun disisi lain juga muncul sebagai properti seorang dukun dalam adegan film horor yang tidak bertanggung jawab. 

Santet, guna-guna, dan hal-hal yang kontra produktif lainnya sengaja diperankan seorang dukun dengan media salah satunya berupa keris. Citra negatif ini mau tidak mau melekat dan stigma bahwa keris adalah sarana santet dan guna-guna cenderung awet dan mengendap di benak masyarakat.

Dalam konteks pemahaman yang terlanjur tidak proporsional seperti ini tentu menjadi tantangan tersediri dalam upaya-upaya edukasi ataupun kontra narasi meluruskan pemahaman yang keliru. Upaya ini mutlak dibangun dan ditumbuh suburkan oleh insan perkerisan sebagai bagian dari penyelarasan atau boleh saya katakan "meruwat" pemahaman yang kadung melenceng. Meskipun toh pemahaman masyarakat tidak mungkin diseragamkan paling tidak akhirnya mereka memiliki akses terhadap pengetahuan yang tepat dan proporsional.

Isu yang cukup populer lainnya adalah banyak kalangan yang justru memandang religiusitas berbenturan dengan dunia perkerisan sebagai warisan budaya bangsa. Hal ini memang sesuatu yang harus diakui dan tiak boleh dinafikan untuk kemudian bersama mendudukannya secara lebih jernih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun