“Sekarang gimana kalau udah gini? Siapa yang akan membayar hutang-hutangnya!” ujar Pak Gori sambil membanting rokoknya. Dablek hanya terdiam. Suasana menjadi hening. Pak Gori masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan mengambil beberapa lembar uang dari laci lemari. Ia siap menaklukan malam. Melakukan kebiasaan buruknya, berjudi dan mabok di rumah bordil Hasbir. Saat Pak Gori kembali ke beranda rumahnya untuk berangkat ke Hasbir, Dablek masih setia berdiri di sana, “Ya sudah Blek, biar nanti kalau keluarganya ga mampu bayar, kita sita rumahnya, bisa kita jadikan kandang ayam, mari sekarang temani saya ke Hasbir.”
Di halaman rumahnya telah menunggu mobil pickup yang biasa digunakan anak buahnya untuk mengantar ikan ikan hasil tangkapan ke pasar di kecamatan. Dablek yang menyetir mobil tersebut. Rumah Bordil Hasbir berada di tengah kota, jaraknya hanya satu satu jam jika ditempuh dengan mobil. Hasbir berbentuk gedung yang memiliki tiga lantai dan telah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1930, dulu yang bisa datang ke Hasbir hanyalah kompeni, priyayi, dan pejabat-pejabat pribumi saja. Namun sekarang semua orang boleh datang ke tempat tersebut asalkan memiliki uang. Hasbir sangat terkenal seantero kota bahkan hingga provinsi, wanita-wanita yang disediakan bervariasi dari yang berumur 15 sampai 40 tahun. Lantai satu merupakan tempat untuk “minum-minum” kemudian lantai dua adalah tempat untuk berjudi, dan lantai tiga adalah kamar-kamar tempat peraduan.
Mula-mula Gori masuk ke lantai satu, ia memesan minuman keras lima botol. Dua orang wanita menghampirinya, menemaninya minum sambil berbicara ngalor ngidul. Tak terasa ia telah menghabiskan empat botol minuman itu, tadinya Pak Gori ingin naik ke lantai dua untuk berjudi, namun birahinya keburu naik dan hasratnya sudah tidak terbendung. Pak Gori mempunyai dua gadis idaman, namanya Isdah dan Poiyah. Ia tidak mau menumpahkan hasrat birahinya selain kepada dua wanita ini. “Malam ini Isdah atau Poiyah ada ga?” Tanya Pak Gori kepada dua wanita yang menemaninya minum. Ia mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Ternyata Isdah dan Poiyah dua hari yang lalu telah melarikan diri dari rumah bordil tersebut. Pak Gori Marah dan tidak percaya, ia berjalan sempoyongan sambil memegang satu botol minuman kerasnya yang masih terisi, menaiki tangga menuju ke lantai tiga.
“Hey, mana Isdah dan Poiyah, saya sewa mereka sekaligus,” tanya Pak Gori ke meja resepsionis lantai tiga, tempat untuk memesan wanita dan kamar. Suara Pak Gori tidak karuan, berdirinya sempoyongan, sesekali ia menggeprak meja resepsionis. “Bagaimana kalo wanita lain saja pak? Kita punya stok yang baru, masih muda dan hangat, pokoknya bapak akan puas,” jawab wanita separuh baya yang menjaga meja resepsionis. Pak Gori marah dan membanting botol minuman kerasnya. Wanita separuh baya itu tetap tenang, ia sudah biasa menghadapi pelanggan-pelanggan yang mabuk seperti ini. Dengan nada ramah wanita itu kembali menawarkan hal yang sama dan menjelaskan bahwa Isdah dan Poiyah sudah tidak kerja lagi di sini. Pak Gori tidak menerimanya, ia tidak tertarik dengan wanita lain, “Kurang ajar, akan saya beli Isdah dan Poiyah, liat saja nanti,” gertakan orang mabok hanyalah gertakan sesaat, ia bisa ngomong apapun dan ketika nanti sudah sadar ia akan lupa dengan semua omongannya ketika mabok. Pak gori memutuskan untuk kembali pulang. Dablek yang sedari tadi mengobrol dengan centeng-centeng penjaga Hasbir di parkiran segera berlari ke arah Majikannya yang berjalan sempoyongan sambil mengumpat tidak jelas, segera ia merangkul dan menuntunnya ke dalam mobil.
“Blek, kurang ajar sekali, Isdah dan Poiyah kabur, saya ga punya wanita lagi. Saya rela jual satu kapal ikan asal bisa tidur bersama mereka berdua,” Ujar Pak Gori yang semakin ngelantur. Dablek hanya terdiam dan menyetir. Ia tau bahwa majikannya mabok dan setiap kata-kata yang keluar dari mulut majikannya hanyalah bualan tidak jelas dari seorang pemabuk. Pickup melaju dengan cepat di kesunyian malam, melewati jalan yang gelap dan sepi menuju desa pesisir Mangur.
............
Jam telah menunjukan pukul dua tengah malam. Murni sedang merapikan warung kopi milik neneknya. Warung itu tutup lebih malam. Biasanya pada saat musim panen, kapal-kapal yang bersandar ke dermaga tidak hanya ada pada pagi hari, tapi sampai malam hari. Sambil mencuci gelas dan merapihkan barang dagangan, Murni memikirkan nasib Darman yang malang, sebenarnya Murni kagum dengan Darman, karena Darman seorang pekerja yang rajin, baik, tidak pernah berjudi dan minum-minuman keras seperti kebanyakan nelayan di desa pesisir Mangur. Bagi Murni, Darman adalah sosok pria idamannya, Murni tidak suka dengan harta ataupun kekayaan, cita-citanya adalah membangun keluarga bahagia dengan tinggal satu rumah bersama suami dan anak-anaknya kelak. Ia berharap suatu saat nanti Darman akan menjadi suaminya, namun sampai hari ini Darman tidak menunjukan gelagat suka terhadap Murni. ia berpikir, mungkin Darman terlalu sibuk untuk mengurus keluarganya, karena Darman adalah tulang punggung keluarga. Murni belum mengetahui bahwa Ibu Darman telah meninggal.
Murni telah selesai merapihkan warung, wajahnya tetap cantik walaupun seharian harus mengurusi warung. Nek Sinden telah pulang terlebih dulu, karena merasa badannya tidak enak. Jarak dari warung kopi ke rumah Murni hanya 20 menit berjalan kaki, jika menggunakan kendaraan hanya 10 menit. Dermaga desa pesisir Mangur dengan perumahan penduduk dipisahkan oleh jalan raya yang kecil, hanya muat satu mobil. selain itu, jalan tersebut sangat gelap dan sisi-sisinya rawa dan pohon-pohon tinggi. Hal tersebut tidak membuat gentar Murni untuk pulang sendiri, ia merasa dirinya adalah pribumi asli sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan.
Sudah setengah jalan Murni menyusuri jalan raya, dari kejauhan terlihat sorot cahaya lampu mobil, semakin lama semakin mendekat. Cahaya itu untuk sesaat menerangi Murni yang hanya membawa obor sebagai penerang jalannya. Murni berpapasan dengan mobil yang berlawanan arah menuju ke rumahnya, hanya ada tiga orang yang memiliki rumah di dekat pesisir, yaitu Pak Enok, Pak Olong, dan Pak Gori. Murni tetap melanjutkan jalannya, tidak lama kemudian dari arah belakangnya ada cahaya lampu mobil yang meneranginya, semakin lama semakin dekat, setelah cahaya itu mendahuluinya, Murni melihat ada Pak Gori dan Dablek didalam mobil itu. Mobil langsung berhenti dengan posisi memalang. Murni terkaget. Dua orang di dalam mobil langsung turun dan jalan mendekati murni, yang satu jalannya sempoyongan sambil berbicara tidak jelas dan yang satu lagi hanya mengikuti di belakangnya. Awalnya Murni tidak curiga, mungkin Pak Gori ingin mengajaknya pulang bareng. Namun anggapan itu langsung berubah, karena semakin dekat, ucapan Pak Gori semakin terdengar jelas. “Murni, Ayo temani saya tidur, nanti saya kasih uang yang banyak.” Murni takut. Ia hendak berlari menuju kembali ke arah dermaga. Hal itu percuma. Dablek sudah lebih dulu menghadang Murni, secepat kilat Dablek langsung menangkap Murni, mencekik murni dengan siku tangan kanannya dan tangan kirinya memegang tangan kiri Murni yang disimpul ke belakang. “Hahaha Bagus Dablek, nanti kamu dapet jatah setelah saya,” ujar Pak Gori. Wajahnya semakin beringas ketika melihat tubuh Murni yang ramping, dengan kulit putih bersih bahkan jika ada nyamuk menempel di kulitnya pasti akan langsung tergelincir. Buah dada Murni yang menyembul dibalik kaos yang dikenakan Murni menambah keberingasan Pak Gori yang sudah tidak mungkin bisa ditahan lagi. “Malam ini aku akan menikmati wanita paling cantik di desa ini,” ujarnya dengan terbahak-bahak.
Murni menangis dan berteriak. Percuma. Tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Pak Gori langsung memulai aksinya, ia merobek baju Murni sekaligus kutangnya. Menarik rok yang yang dikenakan murni hingga terlepas. Selanjutnya Pak Gori menyeret Murni ke balik pohon-pohon besar yang ada di sisi jalan. Dablek tetap berdiri di dekat mobil, matanya waspada mengamati sekitar. 30 menit kemudian Pak Gori keluar dari belakang pohon sambil merapihkan celananya, berjalan menuju Dablek yang setia menunggu. “Nikmat benar Blek, masih perawan ternyata, mimpi apa aku bisa mendapatkan keperawanan Murni,” Pak Gori masih berjalan sempoyongan. Ia masih di bawah pengaruh minuman keras, alias mabok. “Sana Giliranmu Blek,” Pak Gori menepuk pundak Dablek seraya mendorongnya untuk segera menikmati Murni. Dablek bergegas menuju belakang pohon.
Pak Gori menyalakan rokoknya sambil menunggui Dablek, ia merasakan kenikmatan yang sungguh luar biasa, baginya Murni bisa menggantika Isdah dan Poiyah. Ia berniat untuk menculik Murni dan mengurungnya untuk dijadikan budak birahi, yang setiap saat bisa dijadikan pelampiasan hawa nafsu. Lagi pula orang kampung tidak akan berani curiga padanya, orang paling kaya di desa pesisir Mangur. Setelah 15 menit, Dablek keluar dari balik pohon, mengampiri Pak Gori. “Giman Blek, mantap kan?” Dablek hanya tersenyum tanpa kata. “Sekarang kamu ambil tali dan karung, ikat dia dan masukan ke karung, mau saya bawa pulang, buat mainan di rumah,” Pak Gori kembali tertawa. Dablek mengambil tali dan karung di bagian belakang mobil yang biasa digunakan untuk mengikat dan menutup boks ikan.