Selama berbulan-bulan menjelang nikah ini, saya sempat kehilangan arah cita-cita. Sebelum plan menikah, saya sempat negative thinking dengan kodrat seorang wanita. Mengapa?
Karena Karir. Betapa susahnya menyesuaikan karir dengan karir suami dan peran sebagai ibu rumah tangga. Suami saya dinas di Jogja, sedangkan career field saya akan lebih berkembang di JKT,,nah..pusing gak tuh?!
Saya sudah membiarkan angan dan mimpi saya terbang setinggi bintang. Kemudian satu per satu saya lepaskan. Alasan terbesar saya untuk keluar dari sebuah KAP Internasional di Jakarta adalah "dia" . Bagaimana sy bakal ngerajut komunikasi ama dia kalo waktu buat tidur aja terbatas?!
Kalo tiap hari saya harus bertelepon ria dari jam 12 malem sampai jam 2 pagi dan sudah harus menjalankan aktifitas kembali jam 5 pagi, bisa keriting organ-organ tubuh saya?! Akhirnya saya harus memilih, “dia” atau “karir”. Alhamdulillah Allah memberi saya pekerjaan baru yang sama bagusnya tapi lebih pendek jam kerjanya.
Sebelum menikah pula, saya masih bersitegang untuk segera mengusahakan beasiswa ke luar negeri, sedangkan dia ingin untuk menunda dulu sampai kita punya anak 1. Kami bertengkar hebat. Akhirnya dia mengalah dan membiarkan saya terbuai dengan cita-cita.
Setelah menikah, perasaan saya jadi berbalik 180 derajat. Saya selalu terbayang untuk ruang tamu yang berdebu, jemuran yang belum di setrika, dapur yang kosong tanpa persediaan makanan, dan...dia yang sedang tidak enak badan. Fuih..rasanya badan ingin segera melayang ke jogja untuk berkarya. Berkarya sebagai ibu rumah tangga! hehehe..Benar saja, saat saya ke jogja dan mulai menyetrika, tumben2an saya tidak merasa terintimidasi oleh panasnya udara akibat sang setrikaan yang bengil n usang di rumah kami. Saya merasa menjadi wanita.
Ternyata, kedamaian hati menjadi seorang istri itu jauh lebih menyenangkan daripada rasa bangga mendapat medali cumlaud, medali emas lulusan berprestasi President University, atau pun medali finalis Putri Kampus DKI yg pernah saya terima. Membayangkan rekreasi bersama suami dan anak itu jauh lebih indah daripada membayangkan belajar sendirian di negeri orang.
Trus, Buat apa kuliah? toh ke dapur2 juga.
Eits..bagaimana nasib anak2 perempuan sy nanti kalau pemikiran ibunya terpenjara dengan doktrin kuno "Buat apa kuliah?"
naah...Disinilah letak fungsi emansipasi wanita, dimana wanita diberi kebebasan untuk memilih yang terbaik untuk dirinya dan keluarga.
Apakah mau full di rumah? atau stengah rumah stengah karir?
atau full konsen ke karir?
Kuliah membentuk pola pikir wanita untuk mendidik anak2nya dengan lebih baik lagi.
Dan...saya telah memilih yang terbaik untukku dan keluarga. Mimpi terbesar saya saat ini adalah hidup dan berkarya bersama dia, suami yang selalu membebaskan istrinya untuk merajut mimpi bersama...
Suami yang berjanji akan membantu mewujudkan mimpi saya untuk kuliah lagi someday..
Terimakasih Mas,,
I Love you..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H