Sore yang syahdu menyambut dua pasang kaki di pantai glagah, menilam jejak-jejak yang tergurat kenangan silam. Aroma khas seafood menyeruak dari pinggiran jalan yang berjajar dari warung-warung sederhana hingga restoran yang memberi fasilitas wifi. Kaki-kaki kasmaran terus melangkah, tak hirau wewangian ikan bakar yang
menggoda hidung.
Dan tibalah kami di pantai
yang menyimpan sejuta kenang, garis horizon panjang membentang dari barat ke timur, garis pantai berkelok-kelok mempercantiknya, dan laguna membaginya menjadi dua. Indah. Pantai Glagah masih seperti empat tahun yang lalu.
Semburat sinaran senja menyembul dari pepohonan pantai, hadirkan siluet dedaunan. Rupa- rupanya dua jam berlalu tak memberitahu, sementara aku dan dia menerawang masalalu di langit-langit jogja yang meredup. Tak puas jika hanya menikmati senja nan elok dengan tidur-tiduran atau duduk saja. Di ujung karang kubawa ia meniti kembali ke masa-masa di mana cinta bahasa yang paling indah terdengar di telinga.
Matanya berbinar menatapku, serupa antares yang tersesat di penghujung sore. Aku memeluknya, dan pelukannya masih sama,
masih menghadirkan debaran yang tak beritmik di dada, hangatnya pun masih sama, gelorakan butir-butir darah di pembuluh arteri .
Akh, senja berbaik hatilah, jangan kau terburu-buru pergi. Aku ingin membaginya bersama rona merah jinggamu. Desiran angin pantai selatan mengibaskan rambutnya, harum memadati hidungku, entah apa yang terpikir, namun momen itu
begitu puitik. Kecupku jatuh
di bibirnya. Ya Tuhan maafkan aku, telah membawanya dalam romantika yang berseberangan dengan
keyakinan. Sepersekian