Ku ketuk pintu ruangan ibu Dina, lalu terdengar suara dari dalam. Adrenalin ku berpacu, meski ber-AC tak lantas menahan butiran keringatku tak keluar. Gugup, segugup-gugupnya. Ini sudah ke beberapa kalinya aku telat.
"Silakan masuk!", suara bu Dina dari ruangannya, sayup-sayup terdengar.
Lalu ku buka pintu perlahan, "selamat pagi, bu.", sapa ku, dan bu Dina membalasnya dengan senyum sambil asyik 'memainkan' tablet PC keluaran terbaru.
"Pagi, bi. Silakan duduk. Sebentar ya."
"Eee... Iya bu.", sahutku. Keringatku berangsur-angsur reda. Rona wajah bu Dina tak nampak mengguratkan kegeraman, atau entahlah wajah wanita di hadapku ini memang 'cool' entah itu lagi marah atau tidak.
"Abi saya mau tanya..."
"Aduh, maaf bu tadi itu ada keadaan darurat ditambah macet pula, maaf bu lain kali saya tidak telat. Tolong jangan pecat saya.", aku menyela bu Dina.
"Lho kamu nih, siapa yang ingin memecat kamu. Telat itu sudah jadi ciri khas kamu. Kalau kamu gak telat mungkin besok akan kiamat... Hahaha. Bagi saya, kamu tidak melalaikan tugas-tugas dari perusahaan saja sudah cukup.", kata bu Dina sambil tersenyum-senyum memandang ku yang gelisah.
"Ooo... Lalu, ada apa ibu memanggil saya.", kataku sudah reda sekarang kegelisahanku.
"Saya mau tanya, kamu punya anak asuh kan? Ada berapa?"
"Kok ibu tahu? Ada sepuluh orang bu dan mungkin akan bertambah dua,"