Mohon tunggu...
Catur Indrawan
Catur Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer -

Kekasihnya Senja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Berpayudara Surga

23 Juli 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu kembali menceritakan perempuan yang kini terbaring di hadapannya. Dengan tersengal-sengal ia mencoba mengatur sesak nafasnya yang beberapa bulan terakhir ditahannya agar tak terdengar atau bahkan takterendus perempuan yang ada di hadapannya.

“Perempuan berpayudara surga...,” ia selalu bergumam demikian ketika akan memulai kisahnya. Kisah yang berulang kaliia ceritakan pada enam lelaki lainnya yang juga mencintai perempuan yang ada di hadapannya. Dan keenam lelaki lainnya hanya bisa tertunduk, entah mendengarkan atau justru sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yang pasti dari tujuh orang lelaki yang ada di dalam ruangan itu, mungkin cuma aku yang tak pernah menikmati tetes-tetes air surga di dada perempuan itu. Seingatku, mataku hanya beberapa kali mampir ke surganya. Dan dari beberapa kali itu, aku bisa paham betapa keenam lelaki lainnya di dalam ruangan ini begitu terpukul ketika mendapati selembar kertas hasil pemerikasaan laboratorium memvonis perempuan berpayudara surga ini terkena kanker payudara stadium lanjut.

Dari beberapa kali kunjungan mataku ke payudaranya yang surga, aku masih mengingatnya dengan jelas, sepasang bukit yang pernah didaki lelaki tua yang kini tengah meratapi kepergiannya, begitu sungguh mengagumkan. Sepasang puting berwarna merah jambu yang tak terlalu besar, namun juga tak terlalu kecil untuk menghidupi bibir-bibir enam lelaki di hidupnya, dan di antara bukit kembar itu ada sebuah jalan yang tak terlampau sempit dan begitu hangat untuk melelapkan kerinduan. Hah, bagaimana ke-lima lelaki lainnya dalam ruangan ini tak terpukul saat selembar kertas itu merenggut surga dari bibir-bibirnya. Payudara yang begitu indah, bahkan bila dibandingkan dengan payudara milik istri-istri mereka. Dan bagaimana lelaki tua yang kini meratapinya tak begitu terpukul, karena cuma payudaranya yang sukarela dijelajahi tiap malam, tak peduli bibir gosong lelaki tua itu bau minuman beralkohol.

Esok pagi, perempuan itu bersama sepasang payudaranya yang surga akan dibenamkan ke dasar bumi. Namun keindahannya tak akan lekang, dan akan selalu diingat oleh bibir-bibir mungil juga bibir berdaki bau alkohol yang pernah ia hidupi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun