Teknologi untuk mengubah sampah menjadi energi dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu melalui proses pembakaran yang menghasilkan panas dan proses dekomposisi yang menghasilkan biogas. Kedua teknologi ini bukanlah hal baru dan sudah mulai diaplikasikan baik di luar maupun dalam negeri. Namun, teknologi mana yang cocok untuk pengelolaan sampah di Indonesia?
Pertama kita lihat PLTSa atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. PLTSa memproduksi listrik dengan cara membakar sampah yang kemudian panas dari sampah digunakan untuk memanaskan air menjadi uap. Uap dalam jumlah besar tersebut lalu dialirkan dan digunakan untuk memutarkan turbin yang mengkonversi energri kinetic menjadi energi listrik. Sisa dari pembakaran ini merupakan abu yang umum disebut sebagai FABA (Fly Ash and Bottom Ash) serta gas buangan yang mengandung nitrogen oksida, dioksin, karbon monoksida dan lain-lain. Sejak adanya Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, FABA tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3, sehingga abu pembakaran dapat dimanfaatkan dalam pembuatan bahan bangunan atau konstruksi lainnya. Kadar polutan pada gas buangan juga sudah dapat teratasi dengan adanya unit pengendali pencemaran udara seperti scrubber yang dapat menghilangkan gas asam dari gas buangan. Â
Sayangnya PLTSa ini terkendala oleh karakteristik sampah di Indonesia. Agar dapat beroperasi dengan baik, diperlukan sampah yang mudah terbakar sehingga proses pembakaran dapat terjadi dengan lebih efisien. Namun sampah di Indonesia Sebagian besar terdiri dari sampah organic yang umumnya bersifat "basah" sehingga kemampuan pembakarannya pun tidak terlalu baik. Selain itu, proses pembakaran juga menghilangkan peluang untuk memanfaatkan kembali sumber daya nutrien yang terkandung di dalam sampah organik. Kandungan nutrien ini biasanya secara alami terdaur ulang melalui proses dekomposisi.
Lalu apakah pengolahan sampah melalui biodigester lebih baik?
Biodigester mengolah sampah dengan menggunakan mikroba dan apabila dilakukan dalam proses anaerobik (kondisi tanpa oksigen) maka dapat menghasilkan bahan bakar berupa gas metana. Gas metana ini dapat dimanfaatkan langsung untuk dibakar ataupun dikonversi menjadi energi listrik. Proses biodegradasi ini sangat cocok untuk jenis sampah yang kandungan organiknya tinggi dan memiliki kandungan air yang juga tinggi (sekitar 80-90%). Residu atau sisa dari pengolahan biodigester ini juga dapat dimanfaatkan sebagai kompos sehingga nutrient dari sampah dapat disirkulasikan kembali ke alam.
Selain itu, pengelolaan dengan biodigester dapat dilakukan secara komunal atau skala yang lebih kecil. Hal ini sangat menguntungkan bagi warga yang bermukim di area yang tidak padat penduduknya atau tidak terjangkau oleh layanan pengumpulan sampah baik karena akses yang terbatas atau karena alasan lainnya.
Sekilas penggunaan biodigester untuk mengolah sampah Indonesia tampak lebih baik daripada menggunakan incinerator, tapi mengapa sepertinya incinerator lebih popular dari biodigester?
Pertama dapat dilihat dari kemudahan dalam mengoperasikan teknologi incinerator dibandingkan biodigester. Proses pembakaran lebih mudah ditangani dan apabila terdapat kendala dalam pembakaran, proses dapat dimulai kembali dengan cepat. Pada biodigester, operator akan berhadapan dengan makhluk hidup berupa mikroorganisme yang melakukan dekomposisi sampah. Merawat makhluk hidup tidaklah mudah karena terdapat berbagai factor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitasnya. Apalagi reaktor anaerobic digester yang memerlukan kesetimbangan antara beberapa kelompok mikroba yang masing-masing memiliki peran dalam proses hidrolisis hingga metanogenesis. Mikroba sebenarnya sekutu yang sangat kuat dan pekerja keras jika kita dapat memanfaatkannya dengan baik, namun mereka juga sangat sensitive terhadap polutan seperti logam berat yang mungkin mencemari sampah. Diperlukan operator yang mampu memahami kebutuhan dari mikroorganisme sehingga biodigester dapat bekerja dengan optimal.
Insinerator selain tidak dapat diracuni, ia juga dapat memproses jenis sampah yang tidak mudah didegradasi seperti kertas atau sampah kebun yang memiliki kandungan selulosa tinggi ataupun sampah seperti plastik, kain dan karet sintetik. Akibatnya secara operasional, penggunaan teknologi incinerator lebih sederhana jika dibandingkan biodigester.