Mohon tunggu...
Peni Astrini
Peni Astrini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Tulisan merupakan opini pribadi dan harapan penulis mengenai pengelolaan lingkungan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Air dan Energi Ramah Lingkungan

2 Februari 2024   17:09 Diperbarui: 2 Februari 2024   17:32 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLTS terapung di Cirata (Sumber: dokumentasi pribadi)

Energi ramah lingkungan sebagai sumber energi sudah mulai diperhatikan secara serius oleh pemerintahan Indonesia, khususnya dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022. Saat ini energi ramah lingkungan atau energi terbarukan masih merupakan sumber energi alternatif atau penyokong dari sumber energi utama. Di masa depan, diharapkan sumber energi terbarukan ini dapat menggantikan sumber energi dari bahan bakar fosil dan juga mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Indonesia, negara dengan populasi yang besar tentu memerlukan suplai energi yang besar juga, terutama dalam bentuk listrik. Saat ini sumber energi Indonesia masih mayoritas menggunakan batu bara dan minyak. Emisi GRK yang dihasilkan dari penyediaan energi tersebut telah mencapai sekitar 600 MtCO2e (metric ton CO2 ekivalen) pada tahun 2020. Jika tetap menggunakan bahan bakar fosil, emisi yang dihasilkan akan semakin besar juga. Karena itu upaya transisi sumber energi ke energi terbarukan diperlukan. Saat ini di Indonesia dari total energi yang dihasilkan pada 2022, baru sekitar 10,2% yang bersumber dari energi terbarukan. Sisanya 44,8% dari batu bara, 31,3% dari minyak bumi, dan 13% dari gas alam. Apakah kiranya peningkatan persentase kontribusi energi terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025 dapat tercapai, seperti yang ditargetkan oleh pemerintah Indonesia beberapa tahun silam? Lalu apakah hubungan antara air dan energi terbarukan seperti pada judul di atas?

Untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan di Indonesia, tentu keberadaan atau operasional dari pembangkit listrik tersebut perlu didukung. Jika dilihat lagi, pembangkit listrik dengan energi terbarukan banyak yang menggunakan air atau paling tidak dipengaruhi oleh keberadaan air. Pembangkit listrik tersebut di antaranya adalah PLTA, PLTMH, dan PLTS.

PLTA atau Pembangkit Listrik Tenaga menggunakan energi potensial dan kinetik dari air untuk menghasilkan listrik. Air sungai dibendung kemudian dialirkan melalui turbin dan turbin inilah yang mengkonversi energi kinetik menjadi listrik. Kuantitas air tidak diragukan lagi memegang peranan penting dalam berjalannya PLTA. Namun, apakah anda tahu bahwa kualitas air juga berpengaruh dalam operasional PLTA? Turbin, bagian dari PLTA yang mengalami kontak langsung dengan air dapat menjadi rusak akibat terkena polutan yang korosif. Polutan ini umumnya berasal dari kegiatan industri, perikanan, pertanian maupun domestik. Turbin yang mengalami korosi tentu harus diganti apabila performanya menurun atau paling tidak diperlukan perawatan yang jauh lebih sering daripada kondisi normal. Akhirnya produksi listrik menurun dan biaya perawatan naik karena mau tidak mau operasi harus dihentikan untuk mengganti atau merawat turbin yang lifetime-nya menjadi lebih pendek. Hal ini merupakan isu yang sudah lama dialami oleh PLTA Cirata yang harus menghadapi polutan yang masuk dari Sungai Citarum dan juga polutan dari aktivitas di waduk itu sendiri.

PLTMH atau Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro memiliki konsep konversi energi yang sama dengan PLTA, tapi dalam skala yang lebih kecil. Pembangkit listrik ini cocok untuk diaplikasikan di daerah cukup terpencil dan belum terjangkau jaringan PLN. Contohnya, PLTMH di Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. PLTMH Gunung Halu dapat menyokong kebutuhan energi warga sekitar, dan bahkan dapat menyuplai energi untuk industri kopi lokal. Agar dapat menggunakan PLTMH ini tentu diperlukan suplai air dari sungai yang debitnya cukup konsisten baik di musim kemarau maupun hujan. Bagi PLTA, hal ini dapat ditanggulangi dengan mengatur ketersediaan air di bendungan, tapi tidak demikian dengan PLTMH yang biasanya dikelola oleh warga. Tanpa adanya bendungan, warga bergantung pada kemampuan lahan untuk dapat menahan air saat musim hujan agar tidak terlalu meluap dan juga tetap tersedia air pada saat musim kemarau. Oleh karena itu, warga sekitar serta Perhutani yang mengelola area hutan di Gungunghalu bekerja sama untuk menjaga daerah serapan air yang menjadi sumber air untuk PLTMH tersebut agar tidak terjadi pengalihan fungsi lahan.

PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya menggunakan cahaya matahari untuk menghasilkan listrik dengan panel surya. Penggunaan PLTS skala kecil tentu saja tidak diperlukan lahan yang cukup luas untuk memasang panel surya, karena itu panel surya ini sudah cukup umum kita lihat terpasang di atas atap atau terpasang pada lampu jalan. Masalah timbul apabila diperlukan produksi energi yang lebih tinggi. Diperlukan lahan yang luas agar panel surya dapat menangkap sinar matahari sebanyak-banyaknya. Namun kita tahu kalau pembebasan lahan bukanlah hal yang mudah di Indonesia ini. Karena itu dibangunlah PLTS terapung di Bendungan Cirata. Dengan menggunakan pelampung, panel surya dapat diapungkan sehingga tidak diperlukan lahan tambahan untuk instalasinya. Selain tidak memerlukan pembebasan lahan, panel surya apung juga dapat memproduksi energi dengan lebih efisien karena air dapat berfungsi sebagai pendingin dan mengurangi debu yang dapat menutupi permukaan panel surya. Keterbatasan dari PLTS ini terdapat pada singkatnya celah waktu produksi energi yang optimum karena hanya dapat aktif saat terdapat sinar matahari saja. Karena itu penggunaan PLTS ini dikombinasikan dengan PLTA dalam menyuplai energi terutama saat menghadapi waktu penggunaan energi puncak atau saat PLTA melakukan perawatan.

PLTS terapung di Cirata (Sumber: dokumentasi pribadi)
PLTS terapung di Cirata (Sumber: dokumentasi pribadi)

Karena baru saja dibangun dan beroperasi akhir tahun lalu, PLTS terapung masih perlu diamati lagi baik dari dampak ataupun kemungkinan kendala yang akan muncul dari implementasinya. Apakah ke depannya kondisi perairan di area yang permukaan air yang tertutup oleh panel surya akan mengalami perubahan ataukah kondisi perairan yang akan mempengaruhi pengoperasian dari PLTS itu sendiri. Apalagi jika kedepannya PLTS terapung ini juga akan dibangun di tempat yang berbeda seperti danau alami yang ekosistemnya belum terlalu terdampak oleh aktivitas pembangunan seperti bendungan.

Air dengan kualitas yang baik dan kuantitas yang memadai merupakan sumber daya alam yang sangat berharga. Bagaimana energi terbarukan dapat bersaing dengan listrik dari batu bara yang murah apabila biaya perawatannya tinggi akibat kerusakan turbin oleh polutan yang korosif? Berapa lama warga Gununghalu harus menunggu agar listrik PLN bisa terpasang tanpa adanya PLTMH? Lalu, apakah listrik PLTMH ini bisa terus ada apabila hutan sekitarnya dibabat habis? Apakah mungkin proyek PLTS dapat selesai atau feasible apabila terkendala pembebasan lahan? Betapa besar kerugian atau hilangnya waktu atau kesempatan yang bisa dimanfaatkan tanpa pengelolaan sumber daya air yang baik. Maka dari itu, untuk menyukseskan transisi energi ke energi terbarukan, usaha perbaikan lingkungan juga perlu ditingkatkan demi menciptakan kondisi yang mendukung berjalannya program tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun